Kendariinfo

Media Milenial Sultra

URL Berhasil Disalin
Travel

Mengintip Proses Pembuatan Kain Tenun Khas Buton dengan Pewarna Alami di Sulaa Baubau

Mengintip Proses Pembuatan Kain Tenun Khas Buton dengan Pewarna Alami di Sulaa Baubau
Proses menenun kain dengan pewarna alam. Foto: Reno Setiawan. (1/5/2021).

Baubau – Kota Baubau menjadi salah satu lokasi yang memiliki sejuta destinasi wisata di Sulawesi Tenggara (Sultra).

Selain objek wisata alam seperti pantai atau gua yang menjadi keunggulannya, ada juga salah satu lokasi wisata yang menarik untuk dikunjungi yaitu Kampung Topa atau yang akrab disapa Kampung Tenun Sulaa.

Kampung yang terletak di Kelurahan Sulaa, Kecamatan Betoambari ini terkenal sebagai pusat produksi kain tenun khas Buton di Kota Baubau. Pada tahun 2018, kampung ini resmi menjadi Kampung Wisata Tenun yang dimiliki Kota Baubau.

Di Kampung Tenun Sulaa, selain mencari atau membeli kain tenun khas Buton yang berkualitas, kita juga bisa melihat berbagai atraksi penenun dalam proses produksi kain tenun khas Buton tersebut.

Dalam pembuatannya, ada dua macam proses pewarnaan yang digunakan yaitu pewarna buatan dan alami, yang juga membedakan kualitas dari kain yang dihasilkan.

Salah satu yang menarik di kampung ini adalah proses pewarnaan benang yang masih menggunakan bahan alami yang nantinya akan digunakan sebagai bahan dasar penenunan kain khas Buton tersebut.

Pewarna alami yang digunakan antara lain batang nangka untuk menghasilkan warna kuning, pandan atau suji untuk menghasilkan warna hijau, dan kulit pohon mahoni untuk menghasilkan warna cokelat.

Menurut salah satu penenun kain pewarna alami di Kampung Tenun Sulaa, Ibu Musida, proses pewarnaan benang tersebut diawali dengan pemasakan benang, pencucian, dan pembilasan.

Penenun kain, Ibu Musida.
Penenun kain, Ibu Musida. Foto: Reno Setiawan. Sabtu (1/5/2021).

“Proses pertama itu kita masak benangnya yaitu benang katun agar membuka rongga benang, kemudian direndam selama 24 jam (biasa menggunakan sabun), lalu dibilas lagi sebelum dilakukan pewarnaan agar bersih dan warna bisa melekat dengan baik,” jelas Ibu Musida saat diwawancarai tim kendariinfo.com, Sabtu (1/5/2021).

Baca Juga:  Video: Desa Wisata Liya Togo Wakatobi Raih Juara Toilet Umum Terbaik dari Kemenparekraf

Sementara menunggu perendaman benang tadi, biasanya Ibu Musida sambil memasak pewarna alami yang akan digunakan di panci besar hingga bahan dasar pewarna alami tersebut mengeluarkan warnanya.

Proses pemasakan bahan pewarna alami. Foto: Reno Setiawan. (1/5/2021).
Proses pemasakan bahan pewarna alami. Foto: Reno Setiawan. (1/5/2021).

“Setelah masak warnanya dan menghasilkan atau mengeluarkan warna, benang itu tadi (yang sudah bersih) dicelup ke dalam bahan pewarnaan tadi,” lanjutnya.

“Setelah dicelup, dikeringkan atau dijemur, dan setelah kering, difiksasi,” sambungnya.

Proses pencelupan benang ke dalam pewarna alami. Foto: Reno Setiawan. (1/5/2021).
Proses pencelupan benang ke dalam pewarna alami. Foto: Reno Setiawan. (1/5/2021).

Fiksasi adalah proses perendaman benang ke dalam cairan khusus dengan fungsi untuk mengikat warna yang sudah dicelup tadi agar tidak luntur.

“Hanya itu fiksasinya ada tiga macam yaitu kapur, tawas, sama tunjung,” katanya.

Ibu Musida juga menjelaskan proses fiksasi ini selain berpengaruh terhadap daya tahan warna, juga berpengaruh terhadap hasil akhir pewarnaan.

“Untuk (benang) warna kuning tadi itu, kalau difiksasi dengan kapur, warnanya (jadi) agak tua. Kalau (pakai) tawas, warnanya tetap kuning. Kalau difiksasi dengan tunjung, warna kuning tadi agak kehitam-hitaman,” sambungnya.

Kemudian benang akan dikeringkan lagi, lalu setelah itu dibilas dengan pewangi pakaian untuk menghilangkan bau dari pewarnaan, lalu dijemur lagi hingga kering dan dikincir benangnya.

Proses penjemuran benang. Foto: Reno Setiawan. (1/5/2021).
Proses penjemuran benang. Foto: Reno Setiawan. (1/5/2021).
Benang dengan pewarna alami yang dijemur. Foto: Reno Setiawan. (1/5/2021).
Benang dengan pewarna alami yang dijemur. Foto: Reno Setiawan. (1/5/2021).

Proses kincir benang adalah proses menggulung benang menggunakan alat kincir khusus agar siap untuk proses menghani atau menyusun benang.

Proses kincir benang. Foto: Reno Setiawan. (1/5/2021).
Proses kincir benang. Foto: Reno Setiawan. (1/5/2021).

“Setelah dikincir, menyusun benang atau menghani. Proses ini menyusun benang sampai membentuk motif kain yang akan ditenun,” jelasnya.

Proses menghani atau menyusun benang. Foto: Reno Setiawan. (1/5/2021).
Proses menghani atau menyusun benang. Foto: Reno Setiawan. (1/5/2021).

“Setelah menghani, ya dilanjutkan dengan tenun (seperti biasa),” lanjutnya.

Ibu Musida menambahkan, kain tenun dari bahan pewarna alam ini kualitasnya lebih unggul, karena menggunakan bahan benang katun.

Baca Juga:  Pantai Katembe Wisata Wajib untuk Kamu Kunjungi Jika Datang ke Buteng

“Kualitasnya dia lebih unggul karena dia bahannya katun, kalau dipakai dia dingin, nyaman, tidak panas,” tambahnya.

Koordinator Tenun di Kampung Topa, Bapak Gafarudin menjelaskan pengrajin kain tenun yang menggunakan pewarna alami ini bisa dihitung jari, karena prosesnya yang lama dan rumit.

“Prosesnya lama dan rumit, tapi soal kualitas dan harga tidak bisa bohong,” kata Bapak Gafarudin kepada tim kendariinfo.com, Sabtu (1/5/2021).

“Masyarakat penenun di sini, lebih memilih untuk menggunakan pewarna buatan yang benangnya sudah jadi, dibeli dari pabrik, karena prosesnya yang rumit tadi,” lanjutnya.

Dia juga menjelaskan bahwa harga kain tenun dengan pewarna alami dan buatan berbeda cukup jauh, yang mana bila dimanfaatkan, bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Kalau sudah jadi kain ini (benang dari pewarna alami) harganya lebih tinggi dibanding pewarna buatan karena proses hingga kualitasnya juga baik,” jelasnya.

Akhirnya sebagai koordinator, dia memilih untuk terus memproduksi benang dengan pewarna alami tersebut dan menyuplai kepada masyarakat penenun lainnya.

“Saya juga tidak akan sembarang melempar pembuatan pewarna alami ini kepada penenun lainnya, karena jangan sampai ada tahap yang dilewatkan sehingga mengurangi kualitas kain,” ujarnya.

“Untuk saat ini, kami menyuplai benang untuk mereka, agar juga meningkatkan kesejahteraan mereka dengan harganya yang cukup tinggi di pasaran,” pungkasnya.

Pelanggan dari kain ini merupakan turis lokal, nasional, hingga mancanegara dan Kampung Tenun Sulaa yang menjadi pusat tenun di Kota Baubau adalah tujuan utama dari para turis tersebut.

Laporan: Rafli

Tetap terhubung dengan kami:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan Konten