Kendariinfo

Media Milenial Sultra

URL Berhasil Disalin
Terkini

Pesan Walhi se-Sulawesi untuk Prabowo: Moratorium Tambang Nikel hingga PLTU Industri

Pesan Walhi se-Sulawesi untuk Prabowo: Moratorium Tambang Nikel hingga PLTU Industri
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tenggara (Sultra), Andi Rahman. Foto: Istimewa.

Sulawesi Tenggara – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) se-Sulawesi menyampaikan sejumlah catatan penting kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Dalam pernyataan resmi Walhi se-Sulawesi, mereka meminta Presiden Prabowo melakukan moratorium tambang nikel dan perluasan satu juta hektare sawit serta menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) kawasan industri.

Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Tenggara (Sultra), Andi Rahman, mengatakan krisis ekologi akibat penghancuran lingkungan terjadi sangat masif di Pulau Sulawesi, karena kebijakan Joko Widodo (Jokowi) selama 10 tahun memimpin. Hutan hujan hancur, sungai-sungai tercemar lumpur dan logam berat, udara penuh polusi, hingga pesisir laut terkontaminasi limbah pabrik serta lumpur tambang.

“Kebijakan Jokowi selama 10 tahun menyebabkan krisis ekologi akibat penghancuran lingkungan terjadi sangat masif di Pulau Sulawesi,” kata Andi, Senin (21/10/2024).

Kondisi tersebut terjadi karena kemudahan izin bagi pengusaha membangun dan mengembangkan bisnis ekstraktif di Pulau Sulawesi. Sementara sistem perlindungan lingkungan dan sosial terus menurun. Bukan hanya menghancurkan ekosistem, tetapi secara langsung menghilangkan mata pencaharian masyarakat di Pulau Sulawesi.

“Bagi kami, kebijakan Jokowi sama halnya dengan menghancurkan ekologi Pulau Sulawesi secara perlahan-lahan. Bukan hanya di Pulau Sulawesi, kami juga percaya penghancuran lingkungan terjadi di semua pulau provinsi di Indonesia,” ungkapnya.

Bukti nyata gagalnya bisnis ekstraktif di Pulau Sulawesi adalah jumlah kemiskinan yang terus meningkat. Berdasarkan data BPS dalam lima tahun terakhir, angka kemiskinan di Sulawesi Tenggara (Sultra), Sulawesi Barat (Sulbar), dan Gorontalo, justru meningkat. Ekonomi ekstraktif yang dibangga-banggakan pemerintahan sebelumnya secara nyata hanya memberi manfaat dan keuntungan bagi pengusaha. Sementara petani, nelayan, pedagang kecil, dan perempuan hanya menikmati polusi dan lumpur.

“Pidato perdana Presiden Prabowo yang saat ini viral adalah dia meminta seluruh pejabat di Indonesia untuk mengeluarkan rakyat dari ketakutan, kebodohan, kemiskinan, dan penindasan. Kami memberikan rekomendasi kepada Prabowo Subianto agar pernyataan yang disampaikan pada saat berpidato dapat terwujud, khususnya menjauhkan masyarakat Indonesia dari kemiskinan,” ujarnya.

Baca Juga:  Keberadaan Perusahaan Tambang di Konawe Tingkatkan Ekonomi Warga

Tambang Nikel di Sulawesi Rusak Ekologi dan Hilangkan Mata Pencaharian Warga

Andi menyebut bahwa tambang nikel telah berlangsung lama di Pulau Sulawesi. Namun aktivitasnya tidak semasif ketika Presiden Jokowi menjalankan program hilirisasi. Akibat program tersebut, izin dan aktivitas tambang nikel meningkat drastis di Pulau Sulawesi. Masifnya pertambangan nikel berakibat pada hancurnya ekosistem hutan, pencemaran sungai, pesisir, dan laut, hingga banjir lumpur di pemukiman warga.

Di lain sisi, sumber penghidupan masyarakat hilang akibat hancurnya ekosistem hutan, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Dampak lainnya adalah keselamatan dan kebebasan pejuang hak asasi manusia (HAM) yang mempertahankan lingkungannya sendiri kerap diserang dan dikriminalisasi.

“Ke depan akan banyak petani dan perempuan tani yang kehilangan mata pencahariannya, karena lahan-lahan mereka digusur perusahaan. Keselamatan dan kebebasan para pejuang HAM dan lingkungan yang melakukan pembelaan juga terancam. Semua orang, baik masyarakat biasa ataupun aktivis, yang melakukan protes dan demonstrasi akan diserang dan dikriminalisasi,” bebernya.

Perluasan 1 Juta Hektare Sawit Percepat Hancurnya Pulau Sulawesi

Bukan hanya aktivitas pertambangan nikel, rencana perluasan satu juta hektare sawit juga sedang mengancam lahan tanpa kandungan mineral di Pulau Sulawesi. Melalui megaproyek Sulawesi Palm Oil Belt, perkebunan kelapa sawit seluas satu juta hektare akan membentang dari Sulsel hingga Sulut atau selatan ke utara.

“Di Sulsel seluas 100 ribu hektare, Sultra 290 ribu hektare, Sulbar 120 ribu hektare, Sulteng 300 ribu hektare, Gorontalo 95 ribu hektare, dan Sulut 70 ribu hektare. Sementara sisanya (25 ribu hektare) masih dalam proses identifikasi,” jelas Andi.

Ketika rencana Sulawesi Palm Oil Belt berjalan, area hutan sisa pertambangan nikel di Pulau Sulawesi juga akan beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Keadaan itu bakal memperparah kondisi ekologi yang menunjukkan bahwa Pulau Sulawesi telah kehilangan 906.100 hektare hutan primer basah selama periode 2002 sampai 2023. Belum lagi sekira 2,2 juta hektare tutupan pohon hilang pada periode yang sama.

Baca Juga:  Aktivitas Tambang Diduga Jadi Penyebab Banjir, Bupati Konut Bakal Usulkan Cabut Izin Lingkungan PT BNN

“Dengan demikian sumber-sumber kehidupan masyarakat dan ruang hidup akan hilang,” ungkapnya.

PLTU Industri Ikut Perburuk Kualitas Lingkungan di Sulawesi

Lewat program hilirisasi, kawasan industri nikel terus dibangun di beberapa kabupaten di Pulau Sulawesi. Setidaknya lima kawasan industri telah dibangun dan beroperasi di Pulau Sulawesi sejak program hilirisasi nikel dijalankan. Sementara empat kawasan industri rencananya dan sementara dibangun di Pulau Sulawesi. Banyaknya kawasan industri tidak hanya memasifkan pertambangan nikel, tetapi juga memperbanyak PLTU.

“Banyaknya kawasan industri pengolahan nikel di Sulawesi tidak hanya memasifkan pertambangan nikel, tetapi juga memperbanyak PLTU kawasan industri atau PLTU captive untuk menggerakan pabrik-pabrik. Banyaknya PLTU kawasan industri telah menimbulkan dampak lingkungan serius berupa polusi udara yang sangat berbahaya. Dampaknya, kualitas kesehatan masyarakat, khususnya para pekerja menurun,” jelasnya.

Masyarakat lokal yang hidup, bermukim, dan beraktivitas di kawasan industri akhirnya menghirup udara bekas pembakaran batu bara dari cerobong PLTU captive setiap hari. Begitu juga dengan para pekerja, baik pria maupun perempuan. Setiap hari mereka harus bekerja di pabrik yang udaranya kotor.

“Sementara perusahaan yang mempekerjakan para buruh tidak memberikan para pekerja gaji besar beserta tunjangan kesehatan sebagai kompensasi bekerja di lingkungan udara kotor. Begitu pun masyarakat lokal. Mereka tidak mendapat kompensasi biaya kesehatan, karena setiap pagi, siang, sore, hingga malam menghirup udara kotor,” ungkapnya.

Dengan kompleksnya persoalan lingkungan di Pulau Sulawesi, Walhi Sultra, Walhi Sulteng, Walhi Sulbar, dan Walhi Sulsel, berharap Presiden Prabowo menjadi antitesis pemerintahan Jokowi. Melalui pidato perdana Presiden Prabowo yang menyatakan akan bekerja keras mewujudkan kemerdekaan dan kesejahteraan bagi rakyat, Walhi se-Sulawesi menyimpan harapan besar kepadanya.

“Kami percaya bahwa Prabowo Subianto mengetahui persoalan serta memahami akar masalah atas perusakan lingkungan dan kemiskinan masyarakat di Pulau Sulawesi. Maka dari itu, kami mendesak kepada Presiden Prabowo untuk berani menjadi solusi dari persoalan yang terjadi di Sulawesi dan konsisten terhadap pernyataannya,” pungkasnya.

Editor Kata: Ratnawati (Magang)

Tetap terhubung dengan kami:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan Konten