Kendariinfo

Media Milenial Sultra

URL Berhasil Disalin
Opini

Meningkatnya Partisipasi Pemilih Sulawesi Tenggara sebagai Pilar Legitimasi

Tulisan dari tidak mewakili pandangan dari redaksi kendariinfo
Meningkatnya Partisipasi Pemilih Sulawesi Tenggara sebagai Pilar Legitimasi
Titin Kurniawati Ry. Foto: Istimewa.

Partisipasi yang menjadi salah satu tolak ukur berjalannya demokrasi di sebuah negara, semakin tinggi tingkat partisipasi dan intensitas partisipasi politik warga di sebuah negara, maka akan semakin demokratis negara tersebut. Salah satu bentuk partisipasi politik terpenting adalah partisipasi warga dalam pemilu. Pemilu yang menjadi instrumen transformasi kedaulatan menjadi kewenangan dalam bentuk pemberian suara (voting) menjadi sangat penting bagi demokrasi.

Di Indonesia, legitiamasi merupakan elemen mendasar dalam sistem demokrasi yang menjamin stabilitas politik dan keberlanjutan pemerintahan. Legitimasi mengacu pada pengakuan dan penerimaan masyarakat terhadap otoritas pemerintah yang sah dan berwenang untuk membuat keputusan bersifat mengikat. Dalam konteks negara demokratis, penerapan legitimasi dilakukan melalui berbagai mekanisme dengan melibatkan partisipasi masyarakat, salah satunya adalah melalui proses pemilu.

Tanggal 14 Februari 2024 dan 27 November 2024 lalu, Indonesia telah menyelenggarakan dan melaksanakan pemilihan presiden dan kepala daerah serentak di seluruh wilayah. Pemilu serentak ini tidak hanya menjadi ajang kompetisi politik, tetapi juga simbol dari kedaulatan rakyat dan semangat demokrasi yang terus hidup di tanah air. Tingginya partisipasi pemilih di berbagai daerah menunjukkan antusias dan kesadaran masyarakat akan pentingnya suara dalam menentukan arah masa depan daerahnya.

Pada pemilu presiden 14 Februari 2024 lalu, Sulawesi Tenggara dengan angka partisipasi sebesar 83,81 persen yang melampaui target nasional sebesar 79,5 persen jika dibandingkan dengan pemilu tahun 2019 hanya mencapai angka partisipasi 79,33 persen pemilih (Baca selengkapnya di rri.co.id).

Dilanjutkan dengan pilkada di Sulawesi Tenggara, 27 November 2024, mencatat sejarah baru dari periode sebelumnya. Di mana dengan tingkat partisipasi pemilih yang menembus angka 81,36 persen dalam pemilihan gubernur (pilgub) dan 81,2 persen hanya turun 0,6 dari target capaian nasional (baca selengkapnya di Edisi Indonesia). Di mana, target angka nasional yaitu 82 persen dalam pemilihan bupati/wali kota. Capaian ini tidak hanya menjadi kebanggaan regional, tetapi juga menempatkan Sulawesi Tenggara sebagai provinsi dengan tingkat partisipasi pemilih tertinggi di Indonesia pada pemilu tersebut.

Meningkatnya partisipasi pemilih di Sulawesi Tenggara tidak terjadi secara spontan melainkan dari beberapa faktor. Selain kinerja KPU di tiap-tiap kabupaten/kota Sulawesi Tenggara, seperti sosialisasi dan pendidikan politik, juga terjadi karena faktor money politik dan perilaku pemilih yang sangat signifikan mencapai kisaran money politik di Sultra Rp300 ribu sampai Rp1 juta per orangnya.

Hal ini dapat dilihat bahwa, pencapaian Sulawesi Tenggara dalam pemilu dan pilkada tersebut, dengan partisipasi pemilih yang luar biasa menunjukkan bahwa masyarakat merasa memiliki kontrol terhadap proses demokrasi yang ada. Keikutsertaan masyarakat dalam pemilu secara langsung mencerminkan karena dorongan money politik dan kurangnya kepercayaan terhadap sistem pemilu. Ketika angka partisipasi tinggi seperti halnya yang terjadi di Sulawesi Tenggara tidak hanya menunjukkan tingginya kesadaran politik, tetapi juga mencerminkan adanya pengaruh serangan money politik yang kuat antara masyarakat dan calon pemimpin.

Baca Juga:  Terima Kasih, Pak Pj. Wali Kota Kendari dan Dinas Terkait

Dalam konteks legitimasi, tingginya partisipasi seperti ini menjadi pondasi yang kuat bagi pemerintah terpilih dalam memperkuat stabilitas politik, memvalidasi kebijakan yang akan diambil selama masa jabatan, mengutamakan serta mendengarkan aspirasi berhubungan dengan kebutuhan masyarakat.

Kepercayaan ini tentunya tidak lahir begitu saja, tetapi juga mencerminkan efektivitas penyelenggara pemilu yang mampu mengkomunikasikan informasi dengan jelas dan menghilangkan keraguan masyarakat terkait proses pemungutan suara sebagai sebuah proses transformatif. Pemilu di Sulawesi Tenggara telah memperkuat legitimasi tidak hanya bagi sistem pemilu, tetapi juga bagi demokrasi Indonesia secara keseluruhan.

Praktik money politik menciptakan hubungan transaksional antara calon pemimpin dan pemilih karena legitimasi diperoleh tidak sepenuhnya bersumber dari pengakuan. Terkait dengan kekuasaan legitimasi Max Weber mengemukakan bahwa legitimasi dalam sistem pemerintahan dapat diperoleh melalui tiga aspek yaitu:

  • Otoritas yang mendapatkan legitimasi tradisional adalah keyakinan masyarakat tradisional, bahwa pihak yang menurut tradisi lama pemegang pemerintahan memang berhak untuk berkuasa bersifat turun temurun.
  • Otoritas yang mendapatkan legitimasi karismatik adalah rasa hormat, kagum atau cinta masyarakat kepada seorang pribadi sehingga dengan sendirinya bersedia untuk taat kepadanya.
  • Otoritas yang mendapatkan legal-rasional adalah kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin.

Di Sulawesi Tenggara masyarakatnya masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat dan budaya. Dalam konteks pilkada Sulawesi Tenggara, calon yang memiliki karisma kuat melalui visi misi dan rekam jejak dapat menarik partisipasi pemilih. Jika melihat pada tingginya partisipasi pemilih bahwa kekuasaan dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Tingginya partisipasi pemilih menunjukkan bahwa masyarakat Sulawesi Tenggara mengakui sistem pemilu sebagai mekanisme untuk menentukan pemimpin mereka.

Dalam konteks money politik di Sulawesi Tenggara, melihat bahwa pengaruh otoritas legal-rasional pada umumnya berkaitan dengan aturan hukum dalam sistem pemilu. Namun, jika money politik berperan signifikan dalam meningkatkan partisipasi pemilih, maka legitimasi yang tercipta cenderung bersifat transaksional. Dengan kata lain, meskipun terdapat peningkatan yang signifikan, legitimasi yang diperoleh bisa dianggap lemah, karena bersifat materialistis dan kepercayaan terhadap sistem demokrasi.

Baca Juga:  Hukuman Prof B adalah Harapan Keadilan Baru Korban Kekerasan Seksual di Kampus

Jika kita kaitkan dengan legitimasi dalam konteks demokrasi dan partisipasi politik, seperti yang terjadi dalam pilkada di Sulawesi Tenggara, kita dapat melihat hubungan yang kuat antara Teori Kekuasaan Weber dengan kenyataan dalam politik. Pemilu sebagai bentuk transformasi kedaulatan rakyat menjadi kewenangan pemerintah merupakan contoh nyata di mana kekuasaan dan partisipasi masyarakat berinteraksi. Pemilu memberikan kesempatan bagi rakyat untuk memilih pemimpin mereka yang pada hakikatnya akan memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan bersifat mengikat.

Namun, dalam konteks ini, kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah yang terpilih harus mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Sebagaimana dijelaskan dalam Teori Weber, legitimasi adalah pengakuan bahwa pemerintah memiliki hak untuk memerintah, yang pada dasarnya mengurangi kebutuhan akan penggunaan paksaan. Partisipasi politik seperti tercermin dalam angka tinggi partisipasi pemilih di Sulawesi Tenggara menunjukkan bahwa masyarakat memberikan legitimasi kepada pemimpin yang terpilih walaupun itu dengan dorongan transaksional.

Dalam Teori Max Weber, kekuasaan dapat memanfaatkan paksaan atau ancaman untuk memaksakan kehendaknya. Dalam sistem demokrasi yang sehat, legitimasi yang diperoleh melalui partisipasi aktif masyarakat menjadi landasan yang kuat untuk mempertahankan kekuasaan tanpa harus menggunakan paksaan atau penindasan. Dalam konteks ini, pilkada dan pemilu bukan hanya sebuah ajang kompetisi politik, tetapi juga sarana untuk memperoleh legitimasi sosial yang menguatkan posisi kekuasaan yang sah dan diakui oleh rakyat.

Dengan demikian, Teori Kekuasaan Max Weber dapat dilihat, kekuasaan dapat memerlukan paksaan untuk memastikan kehendak dilaksanakan, tetapi dalam sebuah negara demokratis yang legitimasinya kuat. Partisipasi pemilih yang tinggi memperlihatkan bahwa masyarakat secara partisipatif memberikan dukungan kepada calon pemimpin dan dengan demikian kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin terpilih tersebut memiliki dasar yang kuat dalam legitimasi. Namun, keberadaan praktik politik uang menjadi tantangan bagi legitimasi legal-rasional yang dapat merusak kepercayaan terhadap pemimpin masyarakat terpilih. Untuk mempertahankan legitimasi, pemimpin harus menjalankan pemerintahan yang adil, transparan, dan sesuai dengan harapan masyarakat.

Referensi:
Arif, M. S. (2020). Electoral Governance: Increasing Participation Rate as an Effort to Ensure the Legitimacy of Regional Head and Deputy Regional Head Election Results Amid the Covid-19 Pandemic

Penulis: Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Titin Kurniawati Ry

Penulis
Tetap terhubung dengan kami:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan Konten