Kendariinfo

Media Milenial Sultra

URL Berhasil Disalin
Crime

Dipaksa Aborsi lalu Ditinggalkan, Ketika Hak atas Tubuh Perempuan Jadi Ruang Negosiasi

Dipaksa Aborsi lalu Ditinggalkan, Ketika Hak atas Tubuh Perempuan Jadi Ruang Negosiasi
Wanita asal Kota Kendari berinisial, Y (23) bersama kekasihnya, berinisial I, tengah berpose. Foto: Istimewa.

Kendari – Y (23) tak tahu harus berbuat apa ketika kekasihnya, berinisial I, memintanya untuk menggugurkan kandungannya. Namun, atas dalih tak ingin ditinggalkan, Y akhirnya terpaksa mengindahkan permintaan itu.

“Dia belikan obat untuk aborsi. Saya dipaksa menggugurkan kandungan. Obatnya dipesan online lewat temannya. Dia suruh saya gugurkan, karena takut orang tuanya tahu,” ujar Y kepada Kendariinfo, Senin (15/12/2025).

Y saat itu berkenalan dengan I yang merupakan warga Kecamatan Angata, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, melalui media sosial. Komunikasi yang kian intens membawa keduanya pada hubungan asmara.

Petaka bermula pada awal Oktober 2025, saat Y menyadari dirinya hamil. Kehamilan itu tidak pernah menjadi rencana bersama. Bagi I, kabar tersebut justru dianggap ancaman: ketidaksiapan dan ketakutan akan reaksi keluarga mendorongnya mendesak Y untuk menggugurkan kandungan.

Tekanan itu berujung pada tindakan berisiko. Pada awal November 2025, Y mengonsumsi obat aborsi yang diperoleh di luar layanan kesehatan resmi. Setelahnya, kondisi tubuhnya memburuk.

Sambil menahan nyeri, Y menyaksikan darah mengalir dan berceceran di lantai kamar indekos tempat ia tinggal. Ia mengalami pendarahan hebat. Namun, di tengah kondisi darurat itu, permintaan untuk dibawa ke rumah sakit ditolak. I khawatir perbuatannya terbongkar.

“Akhirnya saya pendarahan dalam kamar. Darah itu dibersihkan pacar saya dibantu tetangga indekos,” terangnya.

Baca Juga:  Partai Gerindra Buka Suara Terkait Dugaan Pelecehan Guru Mansur Terhadap Siswi SDN di Kendari

Situasi yang dihadapi Y kian rumit. Ketika orang tua I datang ke indekos, harapan akan pertolongan tak kunjung terwujud. Bukan Y yang dievakuasi untuk mendapatkan perawatan medis, melainkan I yang dibawa pulang ke kampung halamannya. Barang-barangnya diambil, sementara Y ditinggalkan sendiri dalam kondisi lemah.

“Orang tuanya datang, bukan saya yang dibawa ke rumah sakit, tetapi I dibawa pulang. Barang-barangnya diambil, saya ditinggal sendiri di kamar,” sambungnya.

Bukan Lagi Ranah Personal, Melainkan Ruang Negosiasi

Masalah yang dihadapi Y bukanlah hal yang baru. Dalam beberapa riset menunjukkan bahwa perempuan kerap berada pada situasi yang sulit untuk menentukan kedaulatan atas tubuhnya sendiri.

Melalui tinjauan sistematis yang dipublikasikan BMC Women’s Health, setidaknya, studi itu mencatat bahwa otonomi perempuan dalam pengambilan keputusan layanan kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi masih sangat terbatas di banyak negara.

Beberapa di antaranya akibat faktor pasangan, norma sosial, dan tekanan emosional yang pada akhirnya membuat perempuan harus mengikuti keputusan pihak lain, meski berisiko bagi keselamatannya.

Dalam kasus yang dialami Y, kehamilan bukan lagi menjadi ranah personal, melainkan ruang negosiasi yang sarat tekanan.

Relasi Kuasa

Hal yang paling berhubungan dengan apa yang dialami Y tergambar juga dalam jurnal Sexuality & Culture. Dalam studi kualitatif itu disebutkan, rendahnya otonomi reproduksi perempuan sering kali dipengaruhi relasi kuasa dalam hubungan intim.

Baca Juga:  Kuasa Hukum Eks Gubernur Sultra Sebut Kliennya Kembalikan Dana Secara Sukarela

Dengan kehamilan yang tak direncanakan, adanya ketakutan ditinggalkan dari pihak pria yang menganggap dirinya sebagai pihak superior, mengambil pengaruh yang cukup besar dalam praktik aborsi yang akhirnya dilakukan Y.

Tak hanya itu saja, adanya stigma sosial, hingga ketergantungan emosional membuat perempuan sulit menolak keputusan pasangan, sekali pun itu menyangkut tubuh dan nyawanya sendiri.

Perempuan Sebagai Pihak yang Harus Menyesuaikan Diri

Dalam budaya patriarki, perempuan kerap ditempatkan sebagai pihak yang harus mengalah dan menyesuaikan diri. Pola relasi itulah yang dialami Y dalam hubungannya dengan I. Demi menjaga agar praktik aborsi itu tidak terungkap, Y bahkan diminta menahan sakit dan tidak mencari pertolongan medis di rumah sakit.

Dalam penelitian yang dimuat dalam PLOS Global Public Health menjelaskan, rendahnya kedaulatan perempuan berdampak langsung pada risiko kesehatan perempuan.

Budaya yang akhirnya membuat perempuan memiliki kontrol rendah atas keputusan reproduksi cenderung lebih rentan mengalami komplikasi medis akibat menunda, atau bahkan menghindari layanan kesehatan yang aman.

Ketika keputusan atas tubuhnya tak pernah menjadi miliknya, Y kini terbaring menjalani perawatan di RS Bhayangkara Kendari, sendirian, menanggung rasa sakit.

Dipaksa Aborsi lalu Ditinggalkan, Ketika Hak atas Tubuh Perempuan Jadi Ruang Negosiasi

Tetap terhubung dengan kami:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan Konten