Lahan Milik 36 Anggota Pepabri Diduga Diambil oleh Perusahaan Tambang di Konawe
Konawe – Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri (Pepabri) Sulawesi Tenggara (Sultra) beserta seluruh ahli warisnya terlibat sengketa lahan dengan salah satu perusahaan tambang yang ada di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe. Pasalnya, mereka mengaku bahwa lahan yang mereka miliki telah diambil sepihak oleh pihak perusahaan tambang.
Dalam kasus ini, sebanyak 36 anggota Pepabri Sultra beserta seluruh ahli warisnya dikawal langsung oleh Dewan Pengurus Pusat (DPP) KNPI pimpinan Haris Pertama dan advokat dari Kantor Hukum Parlin Timbul dan Associates.
Anggota Tim Hukum DPP KNPI yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Agraria Tata Ruang dan Pertanahan, Arief Parhusip menerangkan, kasus dengan nomor perkara 18/Pdt.G/2023/PN Unh ini telah masuk pada tahapan persidangan lanjutan yakni pemeriksaan di lokasi yang menjadi konflik sengketa yang diklaim berada di dalam kawasan pabrik PT OSS Konawe.
Bahkan, ia geram sebab PT OSS enggan menunjukkan alas hak dari PT OSS atas tanah yang mereka kuasai.
Padahal penunjukan alas hak tersebut merupakan perintah pengadilan di tahap mediasi dan juga merupakan tanggung jawab sosial dari PT OSS sebagai perusahaan asing yang membeli tanah dari masyarakat.
“Kami berharap setelah Majelis Hakim melihat keadaan tanah para penggugat yang sudah diacak-acak batas-batas ambalan tanah oleh PT OSS, bisa meyakini bahwa ada kejanggalan yang memang secara sistematis dilakukan pihak-pihak yang diuntungkan atas kaburnya tanda-tanda batas tanah itu, dalam rangka menzalimi hak-hak anak bangsa,” katanya, Minggu (19/11/2023).
Ia melanjutkan, dalam kasus ini kliennya telah mencoba berbagai macam cara untuk meminta penjelasan di antaranya, mendatangi Kantor PT OSS dan PT VDNI, melakukan somasi sampai 3 kali, mengadu langsung ke Kantor Staff Presiden di Jakarta, hingga adanya rapat di BPN Konawe dengan PT OSS dan PT VDNI.
“Namun tetap saja PT OSS dan PT VDNI tidak bergeming, dan akhirnya para prajurit purnawirawan dan ahli warisnya harus memperjuangkan hak mereka di pengadilan karena PT OSS tidak pernah kooperatif untuk sekadar menunjukkan dari siapa mereka membeli tanah klien kami,” kesalnya.
Sementara itu, Koordinator Para Penggugat, Mustakim Rifai mengatakan, penyerobotan lahan anggota Pepabri Sultra dan ahli warisnya ini diduga dilakukan terstruktur oleh para mafia tanah.
Bahkan, mereka diduga mengupayakan cara yang sedemikian rupa agar segera melakukan pemerataan tanah sengketa sehingga tanda-tanda batas tanah langsung hilang dan mempersulit gugatan apabila melakukan tuntutan di pengadilan yang mengharuskan mengetahui batas tanah dan pihak yang menjual tanah miliknya.
Akan tetapi, mereka masih bisa menunjukkan alas tanah mereka dengan adanya teknologi Google Earth yang mempunyai rekaman situasi tanah sejak 2014.
“Jadi kami bisa cek di mana titik koordinat tanah masing-masing purnawirawan yang menggugat. Dan semua SIPT asli ada di tangan kami, jadi bagaimana mereka bisa membeli tanah yang warkah/alas hak tanahnya masih ada di tangan kami,” tegas Mustakim.
Ia menambahkan, para pemilik lahan telah melakukan demonstrasi di tanah itu pada tahun 2017 untuk menghentikan kegiatan penimbunan tanah. Tetapi, para mafia tanah tetap bekerja sehingga pengerukan tanah berjalan terus dan pemilik tanah kehilangan jejak tanah mereka secara kasat mata.
“Kami berharap keyakinan Majelis Hakim terbentuk dan menguat setelah pemeriksaan setempat ini dilakukan. Bahwa kami tahu di mana letak petakan tanah kami. Kami ini adalah korban karena ulah kerja-kerja mafia tanah,” bebernya.
Lagi-lagi, sampai saat ini, lanjut Mustakim, PT OSS tidak pernah memberitahukan siapa yang menjual tanah klien kami ke mereka.
Secara terpisah, advokat para penggugat, Fahrial Ansar menyampaikan bahwa, pemeriksaan setempat masih berlanjut satu kali lagi yakni pada Jumat (24/11).
Ansar berharap, Majelis Hakim yang menangani kasus ini mendapatkan gambaran bagaimana kondisi tanah sengketa saat ini yang sudah tidak jelas lagi batas-batas tanahnya tapi para penggugat tahu di mana kira-kira letak tanah mereka.
“Saya juga berharap Majelis Hakim mempunyai penilaian tersendiri mengapa PT OSS sampai saat ini tidak mampu menunjukkan alas hak tanah mereka, yang gagal ditunjukan saat mediasi di Kantor BPN Konawe dan saat mediasi di Pengadilan Unaaha, Konawe,” tuturnya.
Arief menerangkan, jika pihak perusahaan mampu menunjukkan alas tanah mereka dan dibeli sesuai hukum yang berlaku, maka kuasa hukum para penggugat siap untuk legawa. Tetapi jika semuanya dilakukan dengan cara yang tidak benar, sebaiknya juga bisa terang-terangan agar tidak ada masyarakat yang menjadi korban.
Olehnya itu, Arif beserta kuasa hukum dan seluruh yang terlibat akan terus mengawal kasus ini sampai para Pepabri Sultra dan ahli warisnya benar-benar mendapatkan keadilan terkait tanah mereka yang diambil oleh pihak perusahaan.
Hingga berita ini ditayangkan, jurnalis media ini sedang berupaya meminta konfirmasi dari pihak tergugat.