Kendariinfo

Media Milenial Sultra

URL Berhasil Disalin
Entertainment

Lewat Lagunya, Bernadya Mampu Menggerakkan Emosi Warga Kendari

0
0
Lewat Lagunya, Bernadya Mampu Menggerakkan Emosi Warga Kendari
Bernadya, saat tampil menghibur pada festival musik 66soundeast di Lapangan Benubenua, Kelurahan Punggaloba, Kecamatan Kendari Barat, Kota Kendari. Foto: Istimewa. (13/12/2025).

Kendari – Selama dua hari berturut-turut, Lapangan Benubenua menjelma ruang temu bagi ribuan warga Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra). Di bawah cahaya panggung dan denting nada yang bergema, festival musik 66soundeast berlangsung, menarik langkah-langkah yang datang dari berbagai penjuru kota.

Festival 66soundeast berlangsung di Lapangan Benubenua, Kelurahan Punggaloba, Kecamatan Kendari Barat, Kendari, sejak Jumat (12/12/2025) hingga Sabtu (13/12). Di antara kerumunan itu, Erlangga (19), barista di salah satu kafe populer di Kendari, memilih menukar sif kerjanya dari malam ke pagi. Keputusan tersebut ia ambil agar dapat menyaksikan langsung acara musik yang telah lama ia nantikan.

Hujan sempat turun, namun tidak dengan semangatnya. Erlangga tahu, salah satu musisi yang tampil malam itu adalah penyanyi perempuan favoritnya: Bernadya, yang akan tampil di hari kedua, Sabtu (13/12).

Bernadya, saat tampil menghibur pada festival musik 66soundeast di Lapangan Benubenua, Kelurahan Punggaloba, Kecamatan Kendari Barat, Kota Kendari. Foto: Istimewa. (13/12/2025).

“Hari ini khusus Waktu Indonesia Bernadya,” ujar Erlangga kepada Kendariinfo, Sabtu (13/12).

Erlangga tidak sendiri. Fajrin (25), seorang pekerja lepas, termasuk di antara mereka yang menaruh antusiasme besar. Di antara deretan musisi yang mengisi perhelatan musik dua hari itu, nama Bernadya menjadi yang paling ia tunggu.

Sabtu sore (13/12), di teras Looka Drive Thru, Jalan Made Sabara, Kelurahan Korumba, Kecamatan Mandonga, Kendari, Fajrin berulang kali menyentuh saku celananya, memastikan gelang akses masuk ke acara musik tersebut tak tertinggal.

“Kalau ditunggu, ya ditunggu sekali. Memang lagu-lagunya cukup relate dengan kehidupan, jadi barang kali ini yang menjadi alasan mengapa orang-orang menjadi antusias nonton secara langsung,” ujarnya.

“Saat konser juga, suara penonton bahkan hampir mengalahkan suara Bernadya. Kami ikut menyanyi dengan lepas,” sambungnya.

Lagu-lagu Bernadya sendiri baru meledak di Kendari pada medio 2024. Di beberapa kafe, dua hingga tiga lagunya hampir selalu hadir dalam antrean daftar putar harian, sebuah kebiasaan yang bertahan hingga awal 2025.

Bahkan, di tempat Erlangga bekerja, pernah dalam satu malam, daftar putar hanya dikhususkan untuk memutar seluruh lagu milik Bernadya saja.

Lagu, Emosi, dan Rasa Keterwakilan

Fenomena keterikatan emosional yang dialami Erlangga dan Fajrin bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Dalam kajian psikologi musik, hubungan antara lagu dan emosi telah lama menjadi objek penelitian serius.

Psikolog musik dari Uppsala University, Patrik N. Juslin, menjelaskan bahwa musik mampu membangkitkan emosi melalui sejumlah mekanisme psikologis. Dalam Handbook of Music and Emotion yang ia susun bersama John Sloboda, Juslin menyebutkan bahwa emosi musikal dapat muncul karena penularan emosi, asosiasi dengan ingatan personal, serta keterkaitan musik dengan pengalaman hidup pendengarnya.

Musik bekerja langsung pada sistem limbik di otak, sebuah wilayah yang berperan penting dalam pengolahan emosi dan memori. Karena itu, respons terhadap musik sering kali datang lebih cepat daripada kesadaran rasional. Tubuh merinding, dada terasa sesak, atau air mata mengalir, bahkan sebelum pendengar sempat memikirkan alasannya.

Dalam konteks Bernadya, lagu-lagunya banyak berbicara tentang kegelisahan personal, relasi yang rapuh, kehilangan, dan upaya berdamai dengan diri sendiri. Tema-tema tersebut dekat dengan pengalaman generasi muda urban, termasuk mereka yang hidup di kota-kota seperti Kendari.

Dari Pengalaman Personal ke Emosi Kolektif

Ketika musik diperdengarkan secara berulang dalam ruang sosial, dampaknya tidak berhenti pada pengalaman individual. Musik mulai membentuk apa yang oleh para peneliti disebut sebagai emosi kolektif.

John Sloboda, peneliti psikologi musik dari University of Keele, menjelaskan bahwa pengalaman musik bersama, seperti konser atau mendengarkan lagu di ruang publik, dapat menciptakan rasa kebersamaan emosional. Individu tidak hanya merasakan emosi secara personal, tetapi juga menyadari bahwa perasaan tersebut dialami oleh orang lain di sekitarnya.

Fenomena ini tampak jelas di Lapangan Benubenua. Ribuan orang menyanyikan lirik yang sama pada waktu yang sama. Tubuh bergerak mengikuti ritme yang serupa. Emosi mengalir secara serempak.

Sosiolog Emile Durkheim menyebut kondisi semacam ini sebagai collective effervescence, yakni ledakan emosi bersama yang memperkuat ikatan sosial. Meski konsep ini lahir dari kajian ritual keagamaan, banyak peneliti modern menggunakannya untuk menjelaskan pengalaman konser musik dan festival budaya pop.

Dalam situasi seperti ini, musik tidak lagi menjadi milik individu. Ia menjelma bahasa bersama.

Mengapa Lagu Bisa Terasa “Relate”

Istilah “relate” berulang kali muncul dalam pengakuan para penonton. Dalam psikologi, perasaan keterwakilan ini berkaitan dengan identifikasi naratif, yaitu ketika pendengar merasa cerita dalam lagu sejalan dengan pengalaman hidupnya sendiri.

Penelitian dalam Psychology of Music menunjukkan bahwa lagu dengan lirik naratif personal cenderung memicu empati yang lebih kuat dibanding lagu yang bersifat abstrak. Pendengar tidak hanya mendengar cerita, tetapi seolah masuk ke dalamnya.

Hal ini diperkuat oleh cara manusia menyimpan memori. Musik sering kali menjadi penanda waktu, mengikat peristiwa tertentu dengan fase hidup tertentu. Lagu yang sering diputar saat seseorang berada dalam masa jatuh cinta, patah hati, atau transisi hidup akan terus membawa muatan emosional, bahkan bertahun-tahun kemudian.

Dari sisi neurosains, penelitian Anne J. Blood dan Robert Zatorre yang dimuat dalam Proceedings of the National Academy of Sciences menemukan bahwa mendengarkan musik yang disukai mengaktifkan sistem reward otak dan memicu pelepasan dopamin, yakni zat kimia yang berkaitan dengan rasa senang dan kepuasan. Efek ini menjelaskan mengapa musik mampu memberikan sensasi emosional yang intens.

Riset lanjutan Valorie Salimpoor dalam Nature Neuroscience bahkan menunjukkan bahwa dopamin dilepaskan bukan hanya saat lagu mencapai bagian klimaks, tetapi juga saat pendengar menantikan bagian tersebut. Musik, dengan demikian, menciptakan emosi bahkan sebelum nada puncaknya terdengar.

Bernadya sebagai Medium Emosi

Dalam konteks itu, lagu-lagu Bernadya bekerja bukan sekadar sebagai produk musik populer, tetapi sebagai medium emosional. Lirik yang personal, melodi yang sederhana, dan tema keseharian memungkinkan pendengar mengaitkan lagu dengan pengalaman hidup mereka sendiri.

Bernadya tidak berdiri sebagai pusat cerita. Lagu-lagunya justru memberi ruang bagi pendengar untuk memasukkan pengalaman mereka masing-masing. Di situlah keterikatan emosional terbentuk.

Bagi Erlangga, lagu-lagu itu menemani jam-jam kerja di kafe. Bagi Fajrin, ia menjadi pengiring fase hidup tertentu. Ketika lagu-lagu tersebut kemudian diperdengarkan di ruang publik, seperti di kafe, di konser, di festival, pengalaman personal itu bertemu dengan pengalaman orang lain sehingga lahir sebuah emosi kolektif.

Meski pada akhirnya tren memutar lagu-lagu Bernadya di kafe perlahan mereda, jejak emosinya masih tertinggal. Lagu-lagu itu telah menjadi bagian dari ingatan kolektif pendengarnya.

Bagikan berita ini:
Tetap terhubung dengan kami: