Kendariinfo

Media Milenial Sultra

URL Berhasil Disalin
Terkini

Mengenal Warga Mata Biru di Pulau Siompu, Ditemukan Pertama Kali Budayawan Buton

0
0
Mengenal Warga Mata Biru di Pulau Siompu, Ditemukan Pertama Kali Budayawan Buton
Ariska Dala, warga Siompu Kabupaten Buton Selatan yang memiliki mata indah berwarna biru. Foto: La Yusrie.

Buton Selatan – Indonesia dikenal dengan beragam suku, etnik, dan budaya. Sebanyak 300 kelompok etnik atau suku bangsa tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa yang mendiami wilayah dari Sabang sampai Merauke. Di mana dari total suku merupakan Ras Melayu-Mongoloid yang merupakan ras asli bangsa Indonesia. Selain itu ada juga ras kelompok Melanesoid, Asiatic Mongoloid, dan Weddoid. 

Dari ciri khas utama yang dilihat pada ras ini seperti rambut berwarna hitam yang lurus, kulit kuning langsat, bercak mongol pada saat lahir, dan kelopak mata yang unik yang dikatakan dengan istilah mata sipit. Selain itu, perawakan ras Melayu-Mongoloid sering kali mempunyai ukuran lebih kecil dan pendek daripada ras Kaukasoid.

Namun, di Sulawesi Tenggara (Sultra), tepatnya di sebuah desa pulau terpencil di Kabupaten Buton Selatan (Busel) terdapat sebuah warga yang jarang diketahui oleh masyarakat luas yakni memiliki perawakan Kaukasoid berciri khas kulit putih, berpostur besar hingga bermata biru. Mereka bisa kita jumpai di Desa Kaimbulawa, Kecamatan Siompu Timur.

Ariska Dala, warga Siompu Kabupaten Buton Selatan yang memiliki mata indah berwarna biru. Foto: La Yusrie.

Pulau Siompu merupakan pulau yang terletak di barat daya dari Kabupaten Buton Selatan, Sultra. Pulau ini terbagi menjadi dua kecamatan, yakni Siompu Timur dan Siompu Barat. Pulau ini bisa dijangkau dengan perjalanan laut ataupun pesawat terbang dari Kendari menuju Kota Baubau. Kemudian, perjalanan menggunakan jalur darat sekitar enam jam menumpangi kapal Feri.

Beberapa warganya bisa kita jumpai memiliki mata berwarna biru. Padahal, bola mata berwarna biru ini merupakan perawakan asli orang bangsa Kaukasoid, Eropa. 

Kelompok yang memiliki kemiripan dengan bangsa Kaukosoid ini pertama kali ditemukan oleh Budayawan Buton bernama La Yusrie saat melakukan penelitian bahasa dan etnik unik di Pulau Siompu, Busel. Kemudian, mereka dikenal masyarakat luas berkat informasi yang disebar oleh La Yusrie.

La Yusrie bercerita dikisaran tahun 2006 lalu, dirinya bersama beberapa rekannya tengah melakukan penelitian pemetaan bahasa. Salah satu wilayah yang menjadi lokasi penelitian mereka yakni di Pulau Siompu. Alasannya, pulau ini diidentifikasi memiliki bahasa yang unik dari etnik Siompu yang lain.

La Dala, ayah Ariska seorang bermata biru. Foto: La Yusrie.

“Kami tinggal di Siompu selama 14 hari. Di sela-sela penelitian saya ke hari pasar yang sekali seminggu saya jalan ke pasar, saya menemukan satu anak kecil yang bermain. Saya melihat sesuatu dari anak ini, matanya biru tapi waktu itu saya sedang fokus riset bahasa, maka saya tidak terpikir lebih jauh,” kata La Yusrie kepada Kendariinfo, pada Jumat (6/1/2023).

La Yusrie mengungkapkan waktu itu dirinya belum menemukan sebuah cerita bahwa di desa itu terdapat kelompok masyarakat yang memiliki hubungan erat dengan orang-orang Portugis. Kemudian, di tahun 2017 La Yusrie tertarik kembali ke Siompu untuk melakukan penelitian dan inventarisasi benteng-benteng yang tersebar di pulau terpencil itu. 

Sebelum lebih jauh melakukan penelitian dan inventarisasi, lebih dulu membaca literatur-literatur pendukung. La Yusrie lalu mendapati fakta yang ada bahwa Siompu pernah menjadi salah satu jalur pencarian rempah bangsa Portugis di abad 15-16 lalu. Kemudian dirinya teringat di tahun 2006 pernah menemukan seorang anak kecil di sebuah pasar yang memiliki mata berwarna biru.

Budayawan Buton, La Yusrie yang mengenalkan pertama kali keluarga La Dala yang memiliki mata berwarna biru. Foto: La Yusrie.

“Saya teringat di tahun 2006 itu ketemu dengan anak bermata biru, saya terpesona saat itu tapi tidak terpikir sejarahnya. Nah jangan-jangan ada keterkaitannya,” ujarnya.

Ia kemudian bertemu dengan seorang pedagang bernama Umar warga Siompu. Perkenalan Umar dan La Yusrie saat berada di atas kapal. Berkat Umar lah, La Yusrie berhasil menemukan La Dala dan anaknya Ariska Dala. Mereka bermukim di Desa Kaimbulawa. Namun sayangnya saat pertemuan itu, keluarga La Dala seakan tertutup dengan masyarakat lainnya. Belakangan diketahui, mereka mendapatkan stigma kurang baik di tengah masyarakat.

“Waktu itu sama sekali tidak ada perhatian kepada mereka. Bahkan mereka mendapatkan stigma jelek, sebagai orang yang dikutuk Tuhan. Orang ini tersisih jadi marginal. Mereka tidak tinggal di desa, tetapi mereka lebih banyak tinggal di kebun,” ujarnya.

Saat La Yusrie tiba di kebun milik La Dala, ternyata sang anak sangat tertutup dengan orang baru. Kemudian di dapatilah cerita dari La Dala bahwa anaknya sangat takut bertemu dengan orang-orang karena stigma negatif tersebut. Apalagi terhadap orang baru. Ia bahkan harus menunggu berjam-jam untuk bisa mengajak Ariska bertemu.

Akhirnya setelah menunggu berjam-jam, Ariska mau bertemu dengannya. Anaknya memiliki perawakan yang dianggap La Yusrie sebagai ras yang berbeda dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Anak gadis yang dilihatnya beberapa tahun silam itu sudah beranjak dewasa. Pastinya tetap dengan mata biru nya yang indah.

Dari kisah yang didengar dari La Dala, cerita itu terus didengungkan turun temurun hingga ke nasabnya. Di abad 15 akhir, para penjelajah Portugis mampir ke Siompu dan kawin dengan seorang gadis bangsawan. Setelah melakukan identifikasi melalui nasab sejarah, gadis bangsawan itu ternyata bernama Waindawula, anak salah satu Sultan di Kesultanan Buton.

Ariska Dala, warga Siompu Kabupaten Buton Selatan yang memiliki mata indah berwarna biru. Foto: La Yusrie.

Sedangkan orang Portugis yang mempersunting Waindawula itu tidak diketahui namanya. Masyarakat Siompu terdahulu hanya menyebutnya sebagai La Dala yang memiliki arti seorang pengelana. Nama La Dala kemudian dipakai juga oleh ayah Ariska saat ini.

“Dari narasi sejarah yang saya dapat baik cerita dari La Dala dan manuskrip yang saya punya tentang bangsa Eropa, memang saling ketemu dan ada keterkaitannya. Salah satunya tentang Waindawula dan juga persaingan Portugis dan Belanda,” ungkapnya.

Adanya persaingan dengan Belanda, membuat Portugis harus angkat kaki dari tanah Buton di kisaran tahun 1613 M. Belanda membuat perjanjian dengan Sultan agar mengusir Portugis dan membuat aturan-aturan yang merugikan bangsa Eropa tersebut. Salah satu kerugiannya yakni adanya pasal yang tidak memperboleh bangsa Portugis ataupun keturunannya tinggal di tanah Buton. Sejak saat itulah, ras keluarga La Dala harus menjauh dari tengah masyarakat.

“Belanda datang dan menyisihkan Portugis di Buton di tahun 1613 M. Portugis tersisih, orang-orang lokal yang menikah juga dengan Portugis terkena dengan pasal itu. Disertai stigma negatif sebagai alasan diusir,” pungkasnya.

Hingga akhirnya La Yusrie mengenalkan keluarga La Dala dan Ariska di khalayak umum. Kemudian mereka merasa diterima kembali dengan baik oleh masyarakat dan bisa berbaur hingga saat ini.

“Sekarang mereka sudah mulai paham dan berbaur dengan masyarakat. Setelah viral waktu itu bahkan keluarga yang tidak menganggap kembali merangkul. Stigma yang ratusan tahun itu kemudian hilang,” ungkap La Yusrie.

Editor Kata
Bagikan berita ini:
Tetap terhubung dengan kami: