Kendariinfo

Media Milenial Sultra

URL Berhasil Disalin
Terkini

Penerima Manfaat Tambang Nikel di Pulau Kabaena: Mantan Gubernur, Calon Kepala Daerah, hingga Polisi

0
0
Penerima Manfaat Tambang Nikel di Pulau Kabaena: Mantan Gubernur, Calon Kepala Daerah, hingga Polisi
Lokasi penambangan nikel PT Tonia Mitra Sejahtera di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara (Sultra). Foto: Satya Bumi.

Bombana – Tim peneliti dari Satya Bumi dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tenggara (Sultra) merilis hasil penelitian terbaru mereka terkait dampak pertambangan nikel di Pulau Kabaena. Laporan sebanyak 40 halaman berjudul “Bagaimana Demam Nikel Menghancurkan Pulau Kabaena dan Ruang Hidup Suku Bajau?” itu dipublikasikan pada Senin, 9 September 2024.

Dalam riset tersebut, tim peneliti turut mengungkap nama-nama besar yang ikut menikmati manfaat pertambangan nikel di Pulau Kabaena. Mulai dari mantan gubernur, calon kepala daerah, hingga jenderal polisi. Beberapa nama disebut berkaitan erat dengan Nur Alam, mantan terpidana korupsi sekaligus Gubernur Sultra periode 2008 – 2018.

Keterlibatan Nur Alam bermula pada tahun 2010. Nur Alam yang sedang menjabat sebagai gubernur merevisi aturan tata ruang Sultra. Saat satu perubahan yang diusulkan dalam revisi tersebut adalah menurunkan status kawasan hutan, dari hutan lindung menjadi hutan produksi di Pulau Kabaena. Revisi itu juga dikuatkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.465/Menhut-II/2011.

Bekas galian tambang nikel di pesisir Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara (Sultra). Foto: Satya Bumi.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan mengubah fungsi kawasan hutan seluas 115.111 hektare di Sultra, termasuk di Pulau Kabaena. Penghilangan status kawasan hutan lindung membuat banyak perusahaan tambang bisa masuk ke Pulau Kabaena. Saat ini, tercatat 15 perusahaan masuk dalam daftar pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang masih aktif beroperasi di Pulau Kabaena.

15 perusahaan tersebut ialah PT Tambang Bumi Sulawesi (TBS), PT Timah Investasi Mineral (TIM), PT Agrabudi Baramulia Mandiri (ABM), PT Narayana Lambale Selaras (NLS), PT Margo Karya Mandiri (MKM), PT Trias Jaya Agung (TJA), PT Tekonindo, PT Rohul Energi Indonesia (REI), PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS), PT Almharig, PT Anugrah Harisma Barakah (AHB), PT Bakti Bumi Sulawesi (TBS), PT Manyoi Mandiri (MM), PT Arga Morini Indah (AMI), dan PT Marga Morini Indotama (MMI).

Beberapa perusahaan itu disebut terafiliasi dengan nama-nama besar, seperti Nur Alam, Widdi Aswindi, Dadang Yogi Barata, Distomy Lasimon, Achmad Fachruz Zaman, Sunardi Salim, Basmala Septian Jaya, Muhammad Baddu, Radhan Algindo Nur Alam, Sigit Sudarmanto, Alaniah Nisrina, Arinta Nila Hapsari, dan Andi Sumangerukka.

Nur Alam

Dalam kasus korupsi nomor putusan 2633K/PID.SUS/2018, Nur Alam terbukti melakukan penerbitan IUP eksplorasi dan memberikan persetujuan peningkatan IUP eksplorasi menjadi IUP operasi produksi PT AHB.

Infografik jaringan penerima manfaat pertambangan nikel di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara (Sultra). Foto: Dok. Satya Bumi.

Nur Alam terbukti bersalah. Ia dijatuhi hukuman pidana penjara 12 tahun dan diharuskan mengganti Rp2,7 miliar yang mana jauh lebih kecil dibandingkan dengan kerugian negara sebesar Rp4,3 triliun. Penyalahgunaan wewenang itu dilakukan Nur Alam dengan tujuan menguntungkan diri sendiri sebesar Rp2,7 triliun dan PT Billy Indonesia sebesar Rp1,5 triliun.

Widdi Aswindi

Keterlibatan Widdi Aswindi melalui PT Billy Indonesia (BI). PT BI merupakan perusahaan tambang yang pertama kali melakukan eksploitasi nikel di Pulau Kabaena. Namun PT BI resmi dilarang melakukan aktivitas pada 2008. PT BI merupakan milik PT Billy Internasional yang mana kedua perusahaan itu tercatat memiliki saham pada perusahaan tambang di Pulau Kabaena, yaitu PT AHB dan PT NLS.

Widdi Aswindi memiliki peran krusial dalam kancah politik nasional dan bisnis. Di kancah politik, Widdi Aswindi merupakan Ketua DPP PAN (2020 – 2025), konsultan pemenangan Nur Alam, dan tergabung dalam tim pemenangan Anies-Muhaimin pada Pilpres 2024. Saat ini, Widdi Aswindi merupakan komisaris di PT AHB yang mana penerbitan IUP-nya berhubungan dengan kasus korupsi Nur Alam.

Daftar perusahaan pemilik izin usaha pertambangan (IUP) di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara (Sultra). Foto: Dok. Satya Bumi.

Dadang Yogi Barata

Mantan Direktur PT BI, Dadang Yogi Barata, menjabat direktur utama di PT AHB dan PT NLS. Ia juga menjabat direktur perusahaan baterai di PT Anugrah Barokah Cakrawala (ABC) yang diduga merupakan anak perusahaan dari Jhonlin group. PT ABC bergerak di bidang pengolahan electrolytic nickel, salah satu bahan yang dapat digunakan untuk pembuatan baterai litium-ion.

Distomy Lasimon, Sunardi Salim, Septian Jaya, dan Muhammad Baddu

Direktur PT NLS, Distomy Lasimon, juga diduga memiliki keterkaitan dengan PT Almharig dengan kepemilikan saham sebesar 40 persen. Di PT Almharig, nama penerima manfaatnya sama dengan di PT TBS, yaitu Sunardi Salim dan Basmala Septian Jaya. Direktur PT Almharig, Muhammad Baddu, juga ditemukan diduga memiliki keterkaitan dengan Nur Alam sebagai besan.

Radhan Algindo Nur Alam

Masih berkaitan dengan Nur Alam, perusahaan Cahaya Kabaena Nikel (CKN) tercatat dimiliki oleh anaknya, Radhan Algindo Nur Alam, yang mencalonkan diri sebagai Bupati Konawe Selatan (Konsel). Pada tahun 2024, PT CKN diindikasikan memiliki mayoritas saham di PT TMS yang mana saat ini masih aktif melakukan pertambangan di Pulau Kabaena.

Achmad Fachruz Zaman dan Sigit Sudarmanto

Tim peneliti juga menemukan bahwa dua perusahaan tambang di Pulau Kabaena terindikasi sebagai entitas yang terhubung dengan politically exposed persons (PEPs). Menurut informasi yang tertuang Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM, PT AMI dan PT TMS terindikasi berafiliasi dengan PEPs. Direktur Utama PT AMI, Achmad Fachruz Zaman, juga merupakan purnawirawan jenderal bintang dua di Polri.

Menurut AHU Data Perseroan tertanggal 21 Maret 2024, PT TMS juga dipimpin purnawirawan jenderal bintang dua di Polri, Sigit Sudarmanto. Dia juga tercatat pernah menjabat Kapolda Sultra pada 2010.

Alaniah Nisrina, Arinta Nila Hapsari, dan Andi Sumangerukka

Selain itu, indikasi keterlibatan PEPs di PT TMS juga tercatat terjadi sebelum tahun 2022 melalui keluarga Mayor Jenderal TNI (Purn.) Andi Sumangerukka. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Sultra periode 2015 – 2019.

Pada tahun 2020, Andi Sumangerukka diangkat Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Andika Perkasa menjadi Pangdam XIV/Hasanuddin. Andi Sumangerukka juga menjadi Bakal Calon Gubernur Sultra pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.

Dugaan keterlibatan Andi Sumagerukka lewat anaknya Alaniah Nisrina melalui bangku Komisaris PT Bintang Delapan Tujuh, yang memegang 25 persen saham PT TMS. Sementara istri Andi Sumagerukka, Arinta Nila Hapsari, tercatat menduduki kursi direktur utama PT Bintang Delapan Tujuh dan pernah menjabat sebagai komisaris PT TMS pada tahun 2019.

Nama-nama tersebut diduga merupakan penerima manfaat dari aktivitas pertambangan nikel di Pulau Kabaena. Tim peneliti menyebut aktivitas pertambangan di Pulau Kabaena syarat dengan pelanggaran hukum serta menghancurkan lingkungan dan ruang hidup masyarakat lokal.

Menurut Peneliti Satya Bumi, Sayiidattihayaa Afra, Pulau Kabaena seharusnya dilindungi dari aktivitas pertambangan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melarang tegas aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari 2.000 meter persegi.

Namun di Pulau Kabaena, pelanggaran terlihat jelas. Tambang-tambang nikel kini mendominasi pulau, menggusur hutan, mencemari laut, dan mengubah kehidupan masyarakat setempat. Sayiidattihayaa Afra mencatat 650 kilometer persegi dari 891 kilometer persegi luas total Pulau Kabaena dikuasai tambang. Artinya 73 persen dari luas Pulau Kabaena telah diserahkan kepada perusahaan tambang.

“Pulau kecil mempunyai kerentanan tinggi terhadap perubahan iklim dan masyarakat yang ada di pulau kecil tak punya diversifikasi pendapatan,” kata Sayiidattihayaa Afra pada peluncuran laporan tersebut di Jakarta, Senin (9/9/2024).

Rentetan pelanggan hukum, mulai dari pemberian izin sampai eksploitasi tambang nikel menghadirkan masalah serius bagi masyarakat lokal yang mendiami Pulau Kabaena. Limbah tambang mengalir ke laut, membunuh terumbu karang, dan mencemari perairan di sekitar rumah-rumah panggung suku Bajo.

Di beberapa desa, air laut yang keruh menyebabkan gatal-gatal dan penyakit kulit serius di kalangan nelayan dan anak-anak. Bagi suku Bajo, yang sejak ratusan tahun hidup dari laut, pencemaran adalah pukulan telak. Limbah tambang mencemari laut, membunuh terumbu karang, dan membuat ikan menjauh.

Di samping itu, anak-anak Bajo yang dulunya dilatih menyelam sejak usia tiga tahun, kini tidak lagi diajarkan. Air laut yang tercemar membuat kulit mereka gatal dan luka. Lebih tragis, tiga anak suku Bajo dilaporkan meninggal dunia akibat jatuh ke air keruh, karena tidak bisa berenang.

“Kondisi ini sangat memprihatinkan. Secara tradisional dan turun-temurun sejak anak suku Bajo berusia tiga tahun, mereka telah diajarkan menyelam. Karakteristik suku Bajo yang menggantungkan hidup di laut membuat kemampuan menyelam ini sangat krusial bagi preservasi kehidupan,” ungkap Sayiidattihayaa Afra.

Namun suku Bajo tidak hanya kehilangan laut, tetapi juga masa depan. Saat ikan tak lagi mendekat, banyak dari mereka terpaksa meninggalkan tradisi nelayan dan beralih menjadi buruh kasar di perusahaan tambang nikel. Pekerjaan itu bukanlah pilihan, melainkan satu-satunya jalan untuk bertahan hidup.

Namun pekerjaan di tambang pun tidak memberi harapan. Para nelayan yang dulu menggantungkan hidup dari laut, kini terpaksa menjadi buruh kasar di tambang, dibayar rendah, dan bekerja tanpa jaminan kesehatan.

Sementara bagi masyarakat suku Moronene yang dulu hidup dari perkebunan kacang mete dan kopi kini kehilangan lahan. Tanaman di sekitar tambang menjadi tidak subur, memaksa mereka menjual tanah kepada perusahaan tambang.

Direktur Eksekutif Walhi Sultra, Andi Rahman, mengatakan kebijakan percepatan transisi energi menyebabkan laju perubahan iklim, pelanggaran HAM, dan rusaknya sumber penghidupan masyarakat lokal. Dalam kasus pelanggaran HAM, Walhi Sultra mencatat 32 orang warga lokal dilaporkan ke polisi pada 2022, dua di antaranya menjadi terdakwa.

“Saat kami mendampingi warga, ibu-ibu yang melakukan aksi mempertanyakan amdal ternyata berakhir menjadi tersangka,” kata Andi.

Bagikan berita ini:
Tetap terhubung dengan kami: