Sepanjang 2024, 103 Nelayan Sultra Jadi Pelaku Illegal Fishing di Australia
Sulawesi Tenggara – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendata sebanyak 103 nelayan asal Sulawesi Tenggara (Sultra) jadi pelaku illegal fishing di perairan Australia sepanjang tahun 2024.
Data itu berasal dari hasil kerja sama Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia (RI) dan Australia Fisheries Management Authority (AFMA).
Direktorat Jenderal (Ditjen) PSDKP KKP RI dan AFMA pun kembali bekerja sama melakukan edukasi melalui kegiatan public information campaign (PIC) di Kota Baubau, Muna Barat, dan Konawe Selatan, pada 10 – 14 Desember 2024.
Direktur Jenderal PSDKP KKP RI, Pung Nugroho Saksono, menjabarkan data yang dikelola AFMA dan Ditjen PSDKP. Dari 216 nelayan Indonesia yang ditangkap pemerintah Australia pada 2024, 48 persen atau sebanyak 103 orang berasal dari Sultra, khususnya Kota Baubau, Muna Barat, dan Konawe Selatan. Itulah sebabnya ketiga wilayah tersebut ditargetkan pada kegiatan PIC kali ini.
“Hal ini tentu sangat disayangkan. Di tengah gencarnya pemerintah Indonesia memerangi praktik illegal fishing kapal ikan asing, ternyata banyak nelayan Indonesia yang menangkap ikan di negara lain tanpa izin,” ungkap Pung Nugroho dalam siaran resminya, Selasa (17/12/2024).
Sejak tahun 2019, PSDKP melalui pembiayaan mandiri maupun berkolaborasi dengan berbagai pihak secara terus-menerus telah melakukan tindakan pencegahan dengan memberikan pemahaman kepada para nelayan agar mentaati aturan.
Selain itu, KKP bersama dengan pemerintah Australia telah menyepakati tiga program kerja sama, yakni patroli terkoordinasi, public information campaign (PIC), dan mata pencaharian alternatif bagi para nelayan pelintas batas yang saat ini sedang dalam proses pembahasan.
Sementara itu, Nugroho Aji, mewakili Direktur Penanganan Pelanggaran Ditjen PSDKP saat melaksanakan PIC di Sultra mengatakan penangkapan ikan secara ilegal di perairan Australia akan menimbulkan risiko. Tidak hanya kepada para nelayan itu sendiri, tetap bagi reputasi negara Indonesia. Citranya akan turun dan mengganggu hubungan baik yang telah terjalin di antara dua negara.
“Selain besarnya risiko dari kondisi cuaca dan lautan yang menantang, apabila tertangkap, kapal beserta hasil tangkapan akan disita dan dimusnahkan. Selanjutnya nelayan akan mendapat hukuman denda yang tinggi dan akan dipenjara apabila tidak dapat membayar denda tersebut,” kata Nugroho Aji.
Nugroho Aji menambahkan kabar buruk lainnya adalah mulai tahun 2025, pemerintah Australia telah menyampaikan kepada perwakilan Indonesia di KBRI Canberra bahwa mereka tidak lagi menyediakan jasa lawyer atau penasehat hukum para nelayan Indonesia yang diproses hukum pemerintah Australia. Itu artinya nelayan Indonesia kemungkinan akan mendapatkan hukuman yang lebih berat dari sebelumnya.
KKP dan pemerintah Australia pun saat ini sedang menyusun program alternatif mata pencaharian bagi para nelayan Indonesia yang akan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi geografis masing-masing wilayah. Pemerintah Australia juga tengah menggagas kemungkinan untuk memberikan visa kerja di kapal-kapal perikanan Australia bagi nelayan Indonesia, dengan syarat tidak boleh tersangkut tindak pidana dan tidak boleh mempunyai catatan kriminal pernah ditangkap pemerintah Australia.
Lidya Woodhouse, perwakilan dari AFMA menyebut pemerintah Australia sangat prihatin. Para nelayan Indonesia yang menangkap ikan tanpa izin di perairan Australia tidak hanya masuk ke wilayah perbatasan, tetapi jauh menjelajah hingga teritorial di barat Australia.
“Kami memiliki peraturan perikanan dan lingkungan hidup yang sangat ketat untuk melindungi lingkungan dan biota laut,” ujarnya.