Kendariinfo

Media Milenial Sultra

URL Berhasil Disalin
Crime

UHO Kendari: Tak Ada Atur Damai Dugaan Pelecehan Mahasiswi, Institusi Telah Tercoreng

3
0
UHO Kendari: Tak Ada Atur Damai Dugaan Pelecehan Mahasiswi, Institusi Telah Tercoreng
Tugu Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari. Foto: Hikuza/Kendariinfo.

Kendari – Nur Arafah, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) menginginkan penyelesaian kasus dugaan pelecehan oknum guru besar terhadap mahasiswinya sendiri berjalan secara terbuka. Dia pun meminta kasus tersebut tidak diselesaikan melalui restorative justice atau pendekatan damai para pihak.

Nur Arafah mengatakan, penyelesaian secara damai hanya akan membersihkan nama para pihak, bukan institusi. Proses hukum yang dilakukan secara terbuka juga berarti tidak ada intervensi terhadap korban untuk mencari keadilan. Dengan begitu, tak ada lagi tudingan bahwa pihak kampus terkesan melindungi terduga pelaku pelecehan.

“Jangan sedikit-sedikit ini dibawa damai, karena institusi ikut tercoreng. Jadi ketika mandek, publik tahu di mana mandeknya. Kalau proses hukum itu terbuka, orang bisa menilai,” kata Nur Arafah kepada Kendariinfo saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (21/7/2022).

Nur Arafah mengaku, pihaknya mendukung seluruh proses hukum yang berjalan, baik di kepolisian maupun di Dewan Kode Etik UHO. Dia pun telah menyampaikan hal itu ke Wakil Dekan III Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UHO sebagai tempat Prof B mengajar.

“Kami dukung proses hukum di kepolisian dan kode etik karena kami sudah terlalu tercoreng. Nama kami sudah rusak ini. Tadi saya sudah sampaikan ke Wadek III FKIP, kalau tiba-tiba damai, kampus lagi yang kena,” ujarnya.

Dia menjelaskan, laporan korban ke Dewan Kode Etik UHO terkait dugaan pelecehan seksual telah sampai di tangan rektor. Dari laporan itu, Dewan Kode Etik UHO yang akan memberikan sanksi, mulai dari yang ringan sampai paling berat jika Prof. B terbukti bersalah. Dia menyebut, sanksi ringan seperti teguran serta penundaan pangkat dan gaji. Sementara sanksi paling berat adalah pemecatan.

“Kode Etik bisa saling menguatkan dengan laporan kepolisian berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi,” pungkasnya.

Bagikan berita ini:
Tetap terhubung dengan kami: