Vaksin Covid-19 di Mata Masyarakat: Penyembuh atau Pembunuh?
Opini – Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) menyerang Indonesia sejak Maret 2020. Penyakit yang awalnya menyerang Wuhan, Tiongkok pada akhir 2019 ini berhasil meluluhlantakkan aktivitas masyarakat dunia khususnya di Indonesia.
Pemerintah mulai menerapkan imbauan untuk tetap di rumah saja, sekolah mulai memberlakukan belajar dari rumah, dan kantor pun memberlakukan kerja dari rumah. Segala hal yang menyebabkan kontak sosial mulai dibatasi untuk mencegah penyebaran virus ini. Protokol kesehatan mulai diwajibkan, mulai dari pakai masker, cuci tangan menggunakan sabun, hingga menjaga jarak sosial ketika berada di luar rumah.
Setelah kurang lebih tiga bulan melakukan pembatasan aktivitas besar-besaran, kehidupan sosial masyarakat mulai ‘rontok’, ekonomi kacau, kesejahteraan masyarakat pun mulai terganggu. Pada Juni 2020, pemerintah mulai mencanangkan Era Normal Baru (New Normal). Di mana masyarakat sudah diperbolehkan melakukan aktivitas secara normal seperti biasa, tetapi tetap dengan standar protokol kesehatan yang ada. Pemberlakuan era normal baru cukup membawa angin segar bagi kehidupan ekonomi masyarakat, namun tak berarti apa-apa dari segi kesehatan, jumlah kasus positif Covid-19 masih terus meningkat.
Selama tahun 2020, masyarakat masih dihantui dengan segala permasalahan terkait Covid-19. Segala hal terkait bertambahnya kasus positif hingga ketegasan pihak berwajib dalam penerapan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran seakan-akan makin menakuti masyarakat. Masyarakat dihadapkan pilihan berat antara urusan perut atau urusan kesehatan. Satu hal yang sangat ditunggu adalah berakhirnya pandemi Covid-19 ini.
Awal tahun 2021, masyarakat diberi kabar bahagia terkait siap digunakannya vaksin untuk melawan virus ini. Sejak pertama kali merebak, berbagai negara sudah berlomba-lomba mencari vaksin dari virus ini. Segala riset dan uji coba telah dilakukan sampai dinyatakan siap untuk didistribusi dan digunakan oleh masyarakat luas. Negara besar seperti Tiongkok, Amerika, Inggris, hingga Jerman bersaing paling maju dalam industri vaksin ini, tak lupa juga Indonesia yang menggenjot produksi vaksin lokal.
Vaksin buatan perusahaan asal Tiongkok, Sinovac menjadi pilihan pemerintah Indonesia dalam melawan penyebaran Covid-19 di Indonesia. Hal ini didasarkan keberhasilan negara pimpinan Xi Jinping itu menurunkan jumlah kasus positif setelah sempat menjadi negara dengan kasus positif Covid-19 tertinggi di dunia. Sejatinya vaksin ini telah lama mulai dibeli dan diimpor oleh pemerintah Indonesia. Tepatnya pada tanggal 19 Juli 2020, 2.400 ratus vaksin Sinovac dikirim ke Indonesia dari Tiongkok (sumber: Kompas.com).
Perjalanan panjang vaksin ini melalui berbagai tahap pengujian hingga awal Desember 2020 pemerintah Indonesia mulai menerima vaksin tahap pertama sebanyak 1,2 juta dosis dalam bentuk vaksin jadi. Sampai pada awal tahun 2021 vaksin tahap pertama sudah mulai disebar di 34 Provinsi di tanah air. Setelah melalui berbagai proses perizinan, vaksinasi dimulai pada tanggal 13 Januari dan presiden Jokowi menjadi yang pertama yang menerimanya.
Setelah melalui proses panjang tersebut, masyarakat tak langsung begitu percaya dengan vaksin tersebut. Sepanjang perjalanan mengenai vaksin, mulai dari awal diwacanakan hingga tahap pengujian dan bisa digunakan selalu memancing perdebatan di tengah masyarakat utamanya warganet yang menjadikan media sosial sebagai tempat menyampaikan aspirasinya. Banyak yang percaya akan keampuhan vaksin itu, tapi lebih banyak juga yang tak percaya sehingga memancing debat dan memuncul berbagai teori-teori konspirasi dibaliknya.
Hal ini tak lepas dari buruknya komunikasi politik dari pemerintah Indonesia dalam menyikapi Pandemi Covid-19 sejak awal menyerang Indonesia. Selain komunikasi yang buruk, kebijakan yang terkesan plin-plan dan tak tepat guna bahkan kadang tak konsisten sering ditunjukkan pemerintah Indonesia. Di awal pandemi menyerang, Indonesia sempat menjadi satu-satunya negara yang belum dihampiri virus berbahaya ini, sehingga pemerintah sempat jumawa bahkan meremehkan.
Betul memang kata Mantan Menteri Kesehatan waktu itu, dr. Terawan Agus Putranto, kalau kita harus santai dan tak perlu panik agar kita tak mudah terserang penyakit. Tapi komunikasi yang santai itu tak memberi rasa aman jika tak dibarengi dengan kebijakan yang tepat. Saat itu pemerintah terkesan lalai dalam menutup jalan masuknya penyebaran virus ini.
Namun, hal itu sudah terlewat, Menkes pun sudah diganti. Tapi persepsi masyarakat kepada pemerintah tak sepenuhnya berubah, kepercayaan mereka kepada sang pembuat kebijakan seolah-olah runtuh karena tak menjamin bisa memberi rasa aman bagi rakyatnya. Rasa tak percaya ini terus berkembang, sampai memunculkan berbagai teori konspirasi di balik pandemi Covid-19 ini. Mulai dari konspirasi bisnis rumah sakit di balik pandemi ini hingga berbagai kebijakan yang sering diragukan efektivitasnya, sehingga masalah makin runyam.
Masalah vaksinasi juga kena imbasnya, vaksin yang sejatinya adalah hal yang ditunggu-tunggu untuk menghentikan Pandemi Covid-19 malah masih diragukan oleh masyarakat. Ditambah tingkat literasi masyarakat kita yang rendah, membuat kabar hoaks berkeliaran dengan sangat mudah dan makin memengaruhi persepsi masyarakat. Dalam masalah vaksin ini, berdasarkan data dari Turnbackhoax.id sudah ada puluhan hoaks yang terdeteksi menyebar di media sosial. Sedangkan hoaks tentang Covid-19 secara keseluruhan sudah ada ribuan konten.
Persepsi masyarakat mulai berkembang, vaksin ini seolah-olah bukan lagi jadi penyembuh melainkan sebagai ‘pembunuh’. Berbagai narasi bohong di media sosial seolah-olah tersebar begitu saja dan beberapa orang pun memercayainya.
Seperti salah satu dari sekian hoaks mengenai dampak buruk setelah disuntik vaksin, salah satunya adalah beredarnya video puluhan santri pingsan disertai narasi pada takarir media sosialnya yang menuliskan “Vaksin sinovac memakan korban lagi kali ini santri dari jember…. pekerjaan paling aneh org sehat kok disuntik macam gk ad kerjaan lain” oleh akun facebook Rahmat Lubis. Narasi yang provokatif ini diunggah saat 13 Januari 2021, pas saat tanggal dimulainya vaksinasi di Indonesia. Seolah-olah postingan ini memprovokasi masyarakat agar menolak divaksin karena bisa menyebabkan dampak buruk, beberapa masyarakat percaya dan langsung meributkannya.
Usut punya usut, berdasarkan hasil periksa fakta dari Rahmah An Nisaa (Uin Sunan Ampel Surabaya) yang dikutip dari turnbackhoax.id ternyata informasi tersebut salah. Narasi dalam postingan tidak sesuai dengan video yang diunggah. Faktanya, dalam video dinyatakan puluhan santri pondok pesantren di Kecamatan Jenggawah Jember pingsan karena dehidrasi usai disuntik vaksin difteri pada 27 Febuari 2018.
Fakta di atas menjadi salah satu kabar bohong dari sekian banyak yang tersebar, yang tentunya sangat berpegaruh terhadap persepsi masyarakat apalagi yang tingkat literasinya rendah. Hal itu terlihat saat penyuntikan pertama vaksin yang diberikan kepada Presiden Joko Widodo di tanggal 13 Januari 2021. Saat itu Jokowi memang sengaja menjadikan dirinya orang pertama disuntik untuk menghentikan segala kontroversi terkait vaksinasi di masyarakat sekaligus membuktikan bahwa vaksin aman dan sebagai contoh bagi rakyatnya.
Sudah hilangnya kepercayaan publik serta persepsi yang makin buruk setelah dihantam berbagai hoaks terlihat dari berbagai komentar masyarakat pasca-suntikan pertama itu, banyak komentar yang menuduh bahwa Jokowi hanya disuntikan vitamin bukan vaksin Sinovac. Itu hanya menjadi salah satu cermin sikap tidak percaya masyarakat Indonesia kepada pemerintah terkait penanganan Covid-19 utamanya persoalan vaksinasi.
Sungguh sangat disayangkan, di tengah karut-marut keadaan pandemi ini, di mana keadaan ekonomi memburuk dan kondisi kesehatan dalam keadaan darurat, harusnya masyarakat dan pemerintah bahu-membahu mencari solusi bersama. Bukannya saling menuding dan saling mencurigai.
Pemerintah sebagai pembuat kebijakan, harusnya ke depan mengedepankan komunikasi yang baik ke masyarakat disertai kebijakan yang tegas dan tepat guna sehingga memberi rasa aman. Kita juga sebagai masyarakat, harusnya mendukung dan tidak menerima mentah-mentah segala informasi, kemampuan literasi media kita harus ditingkatkan di era serba teknologi seperti saat ini, agar tidak makin membuat keadaan runyam dengan perdebatan bodoh tak berdasar.