Diduga Nikmati Hasil Sewa Dokumen Penjualan Nikel, Kejati Sultra Didesak Periksa Komut PT TMM
Konawe Utara – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara (Sultra) didesak segera melakukan pemeriksaan terhadap Komisaris Utama (Komut) PT Tristaco Mineral Makmur (TMM), Tri Firdaus Akbarsya. Dia diduga ikut menikmati hasil sewa dokumen terbang (dokter) penjualan ore nikel dari wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Antam Tbk di Blok Mandiodo, Kabupaten Konawe Utara (Konut).
Dugaan keterlibatan Tri Firdaus Akbarsya itu dibongkar Rudy Hariadi Tjandra, salah satu terpidana dalam kasus korupsi pertambangan PT Antam Tbk di Blok Mandiodo yang ditangani Kejati Sultra. Kuasa Hukum Rudy Hariadi Tjandra, Nasruddin, menyebut Tri Firdaus Akbarsya turut menikmati hasil penjualan kuota bijih nikel dengan modus menyewakan dokumen milik PT TMM yang nilainya mencapai Rp83,4 miliar.
Menurut Nasruddin, ore nikel yang dijual bukan dari konsesi PT TMM, melainkan yang dikeruk di atas wilayah IUP PT Antam Tbk di Blok Mandiodo. Pengerukan itu pun dilakukan secara ilegal oleh sejumlah perusahaan. Untuk itu, Nasruddin mendesak Kejati Sultra segera memanggil Tri Firdaus Akbarsya yang luput dari pemeriksaan dalam kasus korupsi berjamaah tersebut.
Nasruddin juga mengungkapkan bahwa pemeriksaan Tri Firdaus Akbarsya merupakan perintah majelis hakim berdasarkan putusan perkara korupsi tambang di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Kendari yang dibacakan pada 6 Mei 2024 lalu.
“Seharusnya, sejak setelah putusan itu dibacakan, penyidik langsung melakukan pemanggilan dan memeriksa Tri Firdaus Akbarsya. Putusan hakim itu sifatnya perintah,” kata Nasruddin, Jumat (6/9/2024).
Namun sangat disayangkan, sejak putusan dibacakan hingga saat ini penyidik Kejati Sultra belum pernah melakukan pemeriksaan terhadap Tri Firdaus Akbarsya. Padahal Kejaksaan Agung telah disurati untuk memberi atensi agar meminta Kejati Sultra segera memeriksa Tri Firdaus Akbarsya.
Berdasarkan fakta persidangan kasus korupsi yang dijabarkan dalam putusan PN Tipikor Kendari, PT TMM menyewakan dokumen penjualan nikel kepada Pelaksana Lapangan PT Lawu Agung Mining (LAM), Glen Ario Sudarto. Di mana PT TMM sendiri memiliki kuota penjualan bijih nikel berdasarkan persetujuan rencana kerja anggaran biaya (RKAB) yang diberikan Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM.
Glen Ario Sudarto lalu menggunakan dokumen PT TMM untuk menjual bijih nikel yang dikeruk sejumlah perusahaan tambang secara ilegal di wilayah IUP PT Antam Tbk kepada pembeli. Hasil sewa dokumen terbang senilai Rp83,4 miliar itu kemudian diserahkan kepada Direktur PT TMM, Rudi Hariyadi Tjandra.
Rudy Hariadi Tjandra selanjutnya mentransfer uang Rp83,4 miliar ke rekening perusahaan dan melaporkannya ke bendahara PT TMM bernama Kamaluddin. Kamaluddin lalu diperintahkan mentransfer uang itu ke Rudy Hariadi Tjandra sekitar Rp7 miliar. Sementara sisanya ditransfer ke rekening Tri Firdaus Akbarsya.
“Sisanya ditransfer ke rekening pribadi Tri Firdaus Akbarsya. Jadi Rudy Hariadi Tjandra menerima manfaat dari penjualan kuota ini,” ungkap Nasruddin.
Nasruddin pun menyayangkan keputusan hakim yang memvonis Rudy Hariyadi Tjandra 5 tahun dan membayar uang pengganti senilai Rp83,4 miliar tersebut. Padahal Rudy Hariyadi Tjandra hanya menerima uang senilai Rp7 miliar. Menurut Nasruddin, pihak yang seharusnya dibebankan tanggung jawab untuk membayar uang pengganti Rp 83,4 miliar dikurangi Rp7 miliar itu ialah Tri Firdaus Akbarsya.
“Saya bertanya ke kejaksaan, kalau Glen Ario Sudarto di-TPPU (ditersangkakan lagi), kanapa Tri Firdaus Akbarsya didiamkan. Saya patut menduga, ya, jangan sampai ada sesuatu di balik ini,” tandasnya.
Sementara Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Sultra, Dody, menyebut baru menerima surat kuasa hukum Rudy Hariadi Tjandra terkait permintaan agar Tri Firdaus Akbarsya turut diperiksa. Dody mengaku akan mempelajari surat tersebut lebih dulu.
“Baru ada laporannya. Laporannya dipelajari dulu,” singkat Dody.