Kendariinfo

Media Milenial Sultra

URL Berhasil Disalin
Opini

Hukuman Prof B adalah Harapan Keadilan Baru Korban Kekerasan Seksual di Kampus

Tulisan dari tidak mewakili pandangan dari redaksi kendariinfo
Hukuman Prof B adalah Harapan Keadilan Baru Korban Kekerasan Seksual di Kampus
Dewi Keadilan. Foto: Pixabay.

Prof B dihukum satu tahun penjara dan denda Rp50 juta (subsider satu bulan penjara). Dia divonis bersalah karena terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kekerasan seksual. Vonis itu dibacakan Hakim Mahkamah Agung pada 7 Maret 2024 lalu.

Hukuman terhadap Prof B merupakan harapan keadilan baru bagi korban kekerasan seksual di lingkungan kampus. Sulitnya mengungkap kejahatan seksual sering bikin korban patah arang. Relasi kuasa antara pelaku dan korban kadang jadi penghalang. Belum lagi pembuktian yang sulit di hadapan penyidik.

Pada sejumlah kasus dugaan kekerasan seksual oknum dosen di Indonesia, hanya beberapa yang sampai pada vonis penjara. Vonisnya pun lebih rendah dari tuntutan jaksa. Ya, tentu vonis penjara Prof adalah harapan keadilan baru bagi korban lainnya.

Terdakwa dalam kasus itu ialah seorang guru besar. Ia melakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswinya sendiri. Prof B merupakan inisial dari nama Prof. Dr. Barlian, M.Pd., oknum dosen di Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan Universitas (FKIP) Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra).

Saya tidak lagi terhalang asas praduga tak bersalah untuk menyebut nama lengkap Prof B karena sudah divonis pengadilan. Secara pribadi, saya merasa lega setelah mendengar vonisnya. Sempat terpikir kasus itu tidak akan sampai pada vonis penjara.

Hal itu juga diutarakan salah satu anggota keluarga korban, Mashur, setelah putusan Mahkamah Agung. Dia bilang, “Luar biasa memang. Saya pikir tidak akan selesai ini kasus. Bukan main saya bolak-balik di Pengadilan Negeri (PN) Kendari berbulan-bulan. Menunggu dari pagi sampai sore. Bahkan sidang sering ditunda dengan berbagai alasan.”

Baca Juga:  Vaksin Covid-19 di Mata Masyarakat: Penyembuh atau Pembunuh?

Saya kembali menghubungi Mashur untuk menyampaikan selamat atas buah perjuangannya selama hampir dua tahun terakhir. Memang dia yang selalu ada untuk mendampingi korban. Baik melapor ke polisi maupun ke Dewan Kehormatan Kode Etik dan Disiplin (DKKED) UHO.

Saat itu, korban dan keluarganya melapor ke Dewan Kode Etik dan Disiplin (DKED), karena UHO belum punya satuan tugas (satgas) yang secara khusus menangani kekerasan seksual di lingkungan kampus. Beberapa bulan setelah kasus Prof B, UHO baru menakhlikkan panitia untuk pembentukan satgas.

Awal-awal terkuaknya kasus itu, saya diminta bikin berita yang akan ditayangkan di Kendariinfo. Setelah mengonfirmasi polisi, korban, dan Prof B, saya mulai menulis. Saya awalnya berpikir hanya menulis nama terduga pelaku dengan inisial B. Tapi kurang menarik untuk menyebut gelar guru besar yang disematkan kepadanya.

Penyematan inisial Prof B merupakan inisiatif pribadi untuk menyebut nama pelaku dalam berita yang saya tulis waktu itu. Berita itu pun pertama kali ditayangkan pada 19 Juli 2022 pukul 23.59 Wita dengan judul “Diduga Lecehkan Mahasiswi Sendiri, Oknum Dosen di Kendari Dilapor ke Polisi”. Isi berita itu sebenarnya hanya untuk membenarkan bahwa korban telah melapor ke polisi.

Dari berita itu, menyusul artikel selanjutnya pada keesokan harinya. Mulai kronologis kejadian dari perspektif korban, klarifikasi pelaku, hingga informasi pengukuhan gelar guru besar Prof B. Keterangan Dekan FKIP hingga Rektor UHO tak luput dari berita-berita lanjutan. Sejak itu, dugaan pelecehan Prof B merebak ke masyarakat luas.

Baca Juga:  Kapolda Berganti, Presma UHO Minta Bersinergi dengan Mahasiswa

Informasi yang sampai ke masyarakat telah menghukum Prof B dengan sanksi sosial. Namun sanksi etik dan pidana belum punya kepastian. Di kampus, sanksi etik Prof B sangat bertele-tele untuk dijatuhkan DKKED UHO. Sementara di kepolisian, pembuktian dugaan pelecehan seksual memang dikenal sulit, meskipun korban telah menyerah alat bukti untuk mendukung proses penyidikan.

Lahirnya Undangan-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebenarnya menjadi angin segar bagi para korban. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi juga begitu.

Pada praktiknya, sanksi etik dan pidana begitu sulit dijatuhkan. Namun berkat kesabaran serta keteguhan para penasehat hukum, korban, dan keluarganya pada kasus itu, vonis penjara nyata untuk Prof B. Dari vonis itu, UHO kemungkinan akan menjatuhkan pula sanksi etik untuk Prof B.

Dengan hukuman penjara Prof B, saya berharap korban-korban kekerasan seksual di kampus tidak lagi takut dan berani melawan. Kampus pun mudah-mudahan tidak melindungi para penjahat kekerasan seksual. Idealnya begitu. Lingkungan kampus seharusnya menjadi tempat aman, bukan momok yang menebar rasa takut dan trauma bagi mahasiswa.

Penulis: La Ode Risman Hermawan

Penulis
Tetap terhubung dengan kami:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan Konten