Kendariinfo

Media Milenial Sultra

URL Berhasil Disalin
Opini

Menanti Sikap Tegas MUI Pusat Terkait Kasus KM 50

Tulisan dari tidak mewakili pandangan dari redaksi kendariinfo
Menanti Sikap Tegas MUI Pusat Terkait Kasus KM 50
Muhammad Alifuddin, Dosen Fakultas Hukum dan Syariah IAIN Kendari.

Kendari – Salah satu kasus yang menyita perhatian public dalam selang waktu sepekan adalah peristiwa tewasnya enam orang pengawal Habib Rizik Syihab. Kasus ini tidak hanya menyita perhatian public Nusantara tetapi juga mendapat banyak komentar dari masyarakat dunia. Betapa tidak, pada sebuah negeri yang memilih demokrasi sebagai salah asas politiknya, terjadi peristiwa atau tragedi kemanusian yang 6 kali lebih dahsyat dari peristiwa 25 Mei 2020 di USA atau yang dikenal dengan peristiwa tewasnya George Floyd, seorang pria kulit hitam berusia 46 tahun di tangan Polisi.

Peristiwa Floyd menyebabkan terjadi demo besar-besaran di negeri Paman Sam yang mendewakan demokrasi. Bahkan sejumlah masyarakat di beberapa negara di belahan dunia pun, ikut mengecam peristiwa tersebut. Kecaman tersebut, merupakan aksi kemanusiaan, karena sejatinya hukum tidak pernah membenarkan pihak pemegang kuasa untuk menumpahkan darah siapa pun secara serampangan.

Jika kematian Floyd membuat dunia geger, bagaimana dengan kematian enam orang pengawal Rizik? Tentu saja, harusnya lebih serius untuk disikapi. Menyikapi hal tersebut masyarakat sipil Indonesia-pun bersuara lantang. Muhammadiyah sebagai salah satu organ sosial keagamaan besar di Indonesia angkat suara, dan mengeluarkan pernyataan resmi tertulis yang mengecam tindakan tersebut dan meminta untuk dilakukan penyelidikan yang saksama dan imparsial.

Muhammadiyah mendesak dibentuk Tim Pencari Fakta yang independen untuk kasus tersebut. Busyro Muqaddas menyatakan bahwa sebagai salah satu elemen masyarakat sipil (civil society organization) sejak awal berdirinya Muhammadiyah selalu mengikuti perkembangan hubungan relasi antara negara dan masyarakat.

“Itu semata-mata sebagai tanggung jawab moralitas keagamaan dan sekaligus moralitas kebangsaan yang integratif. Itu sebagai ciri dari gerakan Muhammadiyah,” kata Busyro. Pandangan yang integratif itu yang membuat Muhammadiyah tidak bisa bersikap pasif atau mendiamkan sekiranya di masyarakat, di lembaga kita, di pemerintahan kita, terjadi sesuatu yang menurut standar kelayakan kepatutan perlu diberi catatan-catatan yang semuanya itu berstandar kepada norma agama dan norma kebangsaan. (PWmu/9-12-2020).

Langkah Muhammadiyah, diikuti oleh sejumlah organ Islam lainnya seperti PERSIS demikianpula dengan sejumlah NGO, seperti KONTRAS dan LBH yang memang concern di bidang penegakan hukum. Selain pernyataan kecaman dari sejumlah organisasi, kalangan intelektualpun angkat suara. Adalah Amin Rais pantolan dan tokoh reformasi mengecam tegas kejadian tersebut, dan meminta diadakan penyelidikan yang jujur dan berkeadilan atas peristiwa tersebut.

Demikian pula dengan A.A Gim ulama yang dikenal adem dan santun ikut berkomentar atas peristiwa yang di luar kewajaran tersebut. Bahkan seniman gaek, yang sangat kritis terhadap kekuasan Orde Baru, Iwan Fals melalui akun YouTube-nya merilis sebuah lagu yang muatannya mengecam peristiwa tersebut.

Baca Juga:  Refleksi dan Prospek Arah Kebijakan Bupati Konawe Utara dalam Sektor Pendidikan

Abdullah Huhemahua mantan penasihat KPK-pun angkat bicara melalui opini yang ditulisnya dengan judul: Polisi dan Pelanggaran HAM Berat. Abdullah seakan tak kuasa menyimpan rasa kesalnya atas tindakan kepolisian sebagai aparat hukum yang sejatinya mengayomi dan melindungi masyarakat. Sehingga Abdullah sampai pada kesimpulan bahwa aksi penembakan dan penganiayaan terhadap enam pengawal HRS adalah tindakan pelanggaran HAM berat.

Sehingga pada gilirannya Presiden harus segera mengambil tindakan tegas terhadap Kapolri dan Kapolda sebagaimana apa yang dilakukan terhadap Kapolda Jabar dan Metro Jaya dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan pendukung HRS (Pwmu 10-12-2020). Sebagaimana Abdullah, Neta S. Pane dari IPW dalam pers lirisnya secara transparan mengungkapkan berbagai keganjilan dari peristiwa tersebut sehingga meminta agar Presiden mencopot Kapolri dan Kabaintelkam Polri Komjen Rycko Amelza sehubungan kasus penembakan enam anggota FPI di Tol Cikampek, Jawa Barat, Senin (7/12/2020) dini hari.

Lebih lanjut Pane menyebutkan Pertama, jika benar FPI mempunyai laskar khusus bersenjata, kenapa Baintelkam tidak tahu dan tidak melakukan deteksi dan antisipasi dini serta tidak melakukan operasi persuasif untuk “melumpuhkannya”. Kedua, apakah penghadangan terhadap rombongan Rizieq di KM 50 Tol Cikampek arah Karawang Timur itu sudah sesuai SOP, mengingat polisi penghadang mengenakan mobil dan pakaian preman. Ketiga, jika Polri menyebutkan bahwa anggotanya ditembak lebih dulu oleh Laskar Khusus FPI, berapa jumlah tembakan itu dan adakah bukti bukti, misalnya, ada mobil polisi yang terkena tembakan atau proyektil peluru yang tertinggal (Pwmu 7-12-2020).

Masih sederat keberatan atas peristiwa tersebut yang tidak dapat disebut satu persatu. Inti keprihatinan tersebut, adalah mengapa negeri yang menjadikan Pacasila sebagai nilai dasar dalam bernegara dan secara eksplisit di dalamnya tertuang sila Kemanusian yang beradab masih terjadinya tindakan-tindakan bar-barian atas nama kekuasaan. Yang perlu digaris bawahi adalah, bahwa segala keprihatinan dan kecaman tersebut jangan kemudian di salah tafsirkan sebagai sikap mendukung FPI.

Saya menyakini, bahwa sikap kritis atas peristiwa tersebut sama sekali terlepas atau tidak terkait dengan dukungan terhadap eksistensi FPI, tetapi didasarkan pada penghormatan atas harkat hidup  manusia dan kemanuisian yang niscaya dimulaikan bukan untuk ditumpahkan darah dan dihilangkan nyawanya. Dalam konteks agama Islam, secara tegas Qur’an menyebutkan bahwa menghilangkan satu nyawa anak manusia tanpa didasari oleh alasan yang dibenarkan oleh syara sama dengan membunuh seluruh umat manusia (QS. Al-Maidah ayat 32).

Baca Juga:  Masa Depan Nikel: Bahan Baku Utama Baterai Kendaraan Listrik

Karena itulah dalam maqasid syar’iyah atau tujuan dibuatnya syariat oleh Allah ditetapkan bahwa melindungi jiwa manusia (hifd an-nafs) adalah hal yang paling penting dan diutamakan oleh agama, sehingga segala tindakan yang mengindikasikan tentang kesengajaan atau upaya penghilangan nyawa anak manusia adalah tindakan terkutuk dalam pandangan agama, pun dalam konteks hak-hak asasi manusia. 

Jika agama sangat mengutuk tindakan dan upaya sewenang-sewenang atas penghilangan nyawa anak manusia, maka dalam konteks tersebut benang merah imbaun Amin Rais terhadap para ulama untuk bersuara dalam kasus ini menjadi sangat signifikan. Bukankah ulama merupakan garda terdepan dan harapan umat untuk menyuarakan kebenaran. Dan representasi tersebut di Indonesia bukan terletak pada pundak Muhammadiyah yang terlebih dahulu bersuara tegas atas kasus tersebut, juga bukan pada sejumlah OKP keagamaan Islam, seperti HMI, KAMMI, Pemuda PERSIS, dan lain-lainnya. Mandat umat untuk mewakili dan atau sebagai representasi dari suara umat Islam berada di pundak MUI.

Dengan kata lain, MUI adalah rumah di mana umat yang lemah mencari perlindungan berdasarkan nilai-nilai agama yang hanif. Jika MUI dapat bersuara lantang pada upaya sejumlah anggota DPR-RI dan Partai Politik yang berniat menggolkan RUU HIP (Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila), mengapa tidak pada kasus tertembaknya 6 orang anak manusia yang terjadi di KM 50. Sejatinya, MUI per 8 Desember 2020 telah mengeluarkan Taklimat tentang Insiden antara Pendukung FPI dengan Aparat Kepolisian RI bernomor Kep-52/DP-MUI/XII/2020, namun sebagian kalangan menilai konten taklimat sangat normative atau bahkan bersifat klise, tampaknya ada harapan dari publik setidaknya MUI ikut mengutuk tindakan tersebut sebagaimana suara banyak kalangan.

Suara nurani umat dari lintas komunitas yang muncul dalam berbagai diskusi melalui sosial media, merindukan MUI dapat bersikap lebih tegas dalam tragedi kemanusian di Tol Cikampek, bukan sekadar pernyataan normative. Tampaknya banyak pihak merindukan sikap tegas MUI sebagaimana yang ditunjukkannya ketika menolak RUU-HIP terutama jika mengingat kuatnya indikasi pelanggaran atas hak-hak asasi manusia pada kasus 7 Desember 2020 di KM 50.  Wallahu a’lam bi al-sawab.

Oleh: Muhammad Alifuddin, Dosen IAIN Kendari

Penulis
Tetap terhubung dengan kami:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan Konten