Pogiraha Adhara, Tradisi Tarung Kuda Masyarakat Muna yang Tetap Dipertahankan
Muna – Indonesia sangat terkenal dengan keberagaman tradisi, suku dan budayanya. Salah satunya tradisi budaya tarung kuda bagi masyarakat Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra) atau biasa disebut masyarakat dengan istilah Pogiraha Adhara.
Tradisi yang unik tersebut beberapa waktu lalu dilaksanakan secara meriah di Selat Tiworo Desa Wakante, Kecamatan Lawa, Muna Barat. Aksi memperkenalkan budaya nusantara itu dilangsungkan dalam pertunjukan dan penyambutan para tamu-tamu peserta Sail To Indonesia.
Pemerintah Kabupaten Muna Barat menyambut para pencinta kapal layar itu dengan berbagai atraksi budaya para leluhur. Mulai dari Pogiraha Adhara, balap perahu tradisional hingga penampilan berbagai kesenian lokal sejak 2 – 5 September 2022 lalu.
Tidak kurang dari 15 kapal yang berjumlah 30 orang yang berasal dari mancanegara seperti Swedia, Amerika Serikat (USA), Australia, Prancis, Belanda hingga Inggris, itu selain menikmati alam Selat Tiworo, mereka juga menyaksikan tradisi Pogiraha Adhara yang cukup jarang dipertunjukkan.
Informasi yang dihimpun, tradisi tersebut dengan cara dua ekor kuda jantan yang sudah dewasa dengan ukuran sama dipertarungkan. Adu kuda dipimpin oleh seorang pawang yang sudah memiliki pengalaman dalam mempertontonkan aduan kuda yang baik dan memukau.
Untuk lebih menggairahkan kuda dalam bertarung, para pawang akan menyediakan kuda-kuda betina sebagai pemantik perkelahian kuda aduan tersebut. Setelah amarah kuda memuncak, kuda betina dikeluarkan dari arena, kemudian para pawang memainkan kelihaiannya untuk memandu kuda dalam bertarung hingga memukau penonton.
Seperti apa sih tradisi Pogiraha Adhara bagi masyarakat Muna? Menurut pemerhati budaya Muna, La Ode Muhammad Faisal Wikra, tradisi tersebut merupakan warisan turun-temurun nenek moyang masyarakat yang berjuluk bumi Laworo itu.
“Kalau untuk sejak kapan hadir nya tradisi tarung kuda ini saya belum ketahui pasti, yang jelas sudah ada sejak turun temurun dan masih ada sampai saat ini bagi masyarakat Muna,” kata Wikra kepada Kendariinfo, Rabu (7/9/2022).
Wikra mengungkapkan Pogiraha Adhara memiliki filosofis yang kuat. Dahulu, masyarakat Muna secara umum menjadikan pertarungan kuda sebagai ajang pertaruhan harga diri. Bahwa seekor kuda akan berkelahi jika harga dirinya terusik. Namun kian ke sini, tradisi itu hanya untuk hiburan semata.
Pogiraha Adhara atau perkelahian kuda zaman dulu pelakunya bagi rakyat yang memiliki status sosial tinggi seperti raja-raja beserta keluarga dan tamunya. Namun masyarakat biasa tetap bisa menyaksikannya.
Setiap tamu yang datang berkunjung kepada raja Muna, maka kerajaan akan mempertunjukan dan memperlihatkan tradisi tersebut.
Namun lambat laun perkembangan masa kerajaan, masyarakat akhirnya sudah mulai menjadi pelaku tradisi yang digadang-gadang hanya ada 4 negara yang hingga saat ini memiliki tradisi tersebut.
“Pogiraha Adhara merupakan hiburan untuk masyarakat yang berstatus sosial tinggi dan tamu-tamu penting, kemudian masyarakat dapat menontonnya secara luas,” ungkapnya.
“Tradisi tersebut sering diadakan dalam rangkaian acara adat besar tertentu maupun untuk menyambut kunjungan tamu penting dari luar daerah hingga saat ini,” tambahnya.
Wikra mengatakan 4 negara yang memiliki tradisi tersebut yakni Cina, Korea Selatan, Filipina dan Indonesia tepatnya di Kabupaten Muna.
“Kalau di negara-negara lain, sejak dulu memang pertarungan kuda ini ada unsur mempertaruhkan atau judi. Namun di Muna hanya merupakan budaya saja dan sampai saat ini tidak memiliki unsur perjudian,” ujar dia.
Walaupun adanya tradisi tersebut yang melekat di masyarakat budaya Muna sejak dulu, Wikra tak menampik banyak kritikan masuk terhadap tradisi mempertarungkan kuda, salah satunya datang dari para pencinta-pencinta binatang.
Ia pernah membahas sebuah paradoks terkait budaya tersebut, didapatinya banyak pencinta binatang yang tidak menginginkan adanya sebuah perkelahian yang dilakukan secara sengaja oleh kelompok masyarakat.
“Para pencinta binatang mereka tidak setuju adanya perkelahian kuda di mana saja,” ungkap dia.
Di sisi lain, adanya budaya di Muna yang masih dijaga. Ia mengaku inilah polemik yang harus diselesaikan di tengah-tengah masyarakat, antara tetap mempertahankan sebuah tradisi budaya turun-temurun dan penolakan adanya perkelahian binatang.
Menurut dia dalam mempertahankan budaya tersebut masyarakat Muna harus lebih banyak memilah agar pertarungan kuda tersebut bisa lebih aman, baik terhadap hewan ataupun masyarakat yang menonton.
“Selama ini masyarakat di Muna mempertunjukkan perkelahian kuda menyatakan bahwa dalam tradisi itu hanya luka-luka saja dan dapat segera disembuhkan dengan ramuan dan obatan yang tepat,” ungkapnya.
Terbukti saat ini, tradisi Pogiraha Adhara tersebut hanya dipertontonkan saat waktu-waktu tertentu seperti penyambutan tamu-tamu Sail To Indonesia tersebut. Selain itu, terkait durasi waktu mempertarungkan hewan itu tidak memiliki batas waktu. Dalam artian, para tamu bisa menyaksikan bahwa tradisi itu ada.
Wikra mengatakan selama ini tradisi tersebut tidak memiliki ikatan waktu yang panjang saat ditampilkan.
“Durasi itu tidak menentu, tidak mengikat waktu yang penting bisa di lihat, kalau kira-kira sudah cukup, ya cukup dan bisa dihentikan kapan pun,” ujar dia.
Menurut dia, karena Muna merupakan pijakan awal muncul tradisi tersebut di Indonesia, sangat disayangkan jika harus punah. Untuk tetap mempertahankan dan melestarikan, perlu adanya penanganan yang lebih baik terhadap kuda-kuda yang dipertarungkan, mulai dari kondisi kuda hingga kesehatan pasca-bertarung.
“Walau ada pertentangan di berbagai kalangan karena menimbulkan kekerasan pada binatang, kuda harus bisa ditangani dengan baik setelah bertarung,” ujar salah satu keturunan Raja Muna La Ode Pandu ini.
Selain itu, untuk mengantisipasi dampak terhadap masyarakat perlu adanya tempat khusus yang aman. Ia mengatakan selama ini mempertontonkan Pogiraha Adhara di Muna jauh dari kata aman bagi masyarakat, karena berada di tengah-tengah lapangan dengan pembatas seadanya.
“Kalau kita melihat di negara lain, pertarungan kuda itu safety di tempat yang ada pembatas. Mungkin di Muna juga harus dibuatkan sebuah arena dengan pagar pembatas antara kuda yang bertarung dengan penonton supaya lebih aman,” pungkasnya.