PT Antam, Pelat Merah di Republik Mandiodo
PT Aneka Tambang (Antam) di Kabupaten Konawe Utara (Konut) sebuah legitimasi istilah “Kamuflase BUMNisasi”, yang mana Izin Usaha Pertambangannya (IUP) sekadar basa-basi belaka. Alasan paling populer dari kemampuan berubah warna yang dimilikinya seperti bunglon menyamarkan diri saat ada predator atau saat ingin menangkap mangsanya.
Direktur Eksekutif Explor Anoa Oheo (EXOH), Ashari menegaskan bahwa ini adalah dosa historis rangkaian dari bentuk kegagalan negara. Ketika pemerintah pusat tidak memberikan bimbingan teknis kepada pemerintah daerah di kala IUP terbit berseliweran atas dasar kebijakan otonom. Padahal hal ini penting untuk menghindari hal-hal yang terjadi seperti saat ini. Akibatnya pemerintah pusat dan daerah tidak memiliki kesepahaman dalam penerbitan IUP.
Pemerintah daerah tidak dapat disalahkan karena pemerintah pusat memang tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Hal fatal pun terjadi pada kondisi pertambangan Blok Mandiodo ketika hutannya sudah hilang, lalu negara caplok sebagai objek vital nasional. Padahal objeknya adalah krisis kepastian hukum, tidak ada yang vital, yang ada hanyalah aset nihil lalu pura-pura dijaga oleh aparat.
Dari zaman orde baru, dari sisi ekonomi pemerintah memperlakukan sektor pertambangan sebagai salah satu sektor penyumbang pendapatan terbesar negara. Terkhusus di area tambang Blok Mandiodo, semestinya negara berterima kasih kepada perusahaan belasan IUP termasuk kepada pengusaha lokal pribumi Konut. Mereka berjasa menyumbang uang masuk ke devisa negara melalui pajak. Tetapi mereka diperlakukan ibarat lupa kacang akan kulitnya.
Ashari yang juga Dewan Kehormatan Himpunan Pengusaha Tolaki Indonesia ( HIPTI ) Konut menyebutkan bahwa bertahun-tahun kami menyorot secara kritis keberadaan PT Antam di Konut, tidak pernah mendapatkan respons. Namun, kami yakin perjuangan tidak akan putus dan suara kami terus menggema, terbukti saat Adian Napitupulu menyikapi persoalan PT Antam yang dihadiri oleh para petinggi di republik ini.
“Walaupun sepenggal informasi yang diterima oleh Bung Adian namun amarahnya bisa sampai memuncak, apalagi kami yang merasakan kisah drama dari si perusahaan pelat merah itu, serasa daerah kami bak republik asing,” katanya.
Sudah bukan rahasia lagi penolakan dan tuntutan dari masyarakat serta aktivis Konut menyoal keberadaan PT Antam. Sejak tahun 1995 masuk di Konut, sungguh eksistensinya patut dipertanyakan, sama sekali tidak ada keseriusannya.
Aspirasi kami semua diabaikan, pendirian smelter sekadar janji, sampai detik ini masih berkantor di rumah orang, dana pembebasan lahan dikorupsi, masyarakat dilawan, ditakut-takuti secara hukum, dan yang memalukan ketika perusahaan negara memiliki kaplingan ribuan hektare tapi nyata jualan ore di pabrik Cina di dalam negeri pula, sama saja jualan sayur di pasaran. Tidak bisa mandiri padahal kelas perusahaan negara.
Ironis dari berbagai reaksi diplomatis PT Antam terkait wacana kerja sama pembangunan smelter oleh Mind ID di Kabupaten Kolaka, hal demikian akan menjadi ketersinggungan masyarakat dan Pemda Konut.
Tentu kami cemburu sebab lahan tambangnya mencapai puluhan ribu lalu pembangunan berkelanjutannya di daerah lain. Ini kan tidak adil, jangan jadikan daerah kami sebagai toilet pertambangan.
Ashari menambahkan, hal yang mendasar semestinya pemerintah dalam hal ini aparat yang berwenang serius menyelesaikan sengketa hukum lahan tambang PT Antam di Konut. Pada Blok Tapunopaka, Lalindu, dan terutama Blok Mandiodo, diduga semua SK IUP-nya dan syaratnya, malaadministrasi.
Berdasarkan Legal Opinion Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sulawesi Tenggara Nomor Registrasi 0093/LM/VIII/2019/KDI tentang Mal Administrasi, maka pejabat berwenang sesegera mungkin melakukan legal research discussion pada putusan-putusan hukum yang sudah ditetapkan yakni salinan Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor 134 PK/TUN/2010 tertanggal 6 Januari 2011 dan salinan Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor 129 K/TUN/2011 tanggal 9 Mei 2011.
Ini mesti dibongkar habis terkait sinkronisasi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 225 K/TUN/2014 yang memenangkan PT Antam. Jika ini clear dan bisa dibuktikan kebenarannya maka semua akan ketahuan siapa yang melakukan kejahatan korporasi.
Ashari juga menanggapi kritikan pedas dari seorang anggota DPR RI Komisi VII, Bang Adian secara blak-blakan mengatakan bahwa negara memproduksi penjahat termasuk negara menerbitkan IUP di lahan yang sama. Sepakat dan ini sepaket kegagalan negara, buah hasil dari kerja oknum negara mengorbankan masyarakat di daerah.
Kesimpulan dari sorotan pedas itu adalah sepenggal cerita drama sengketa lahan PT Antam yang pada alurnya bagian dari upaya kolaborasi dan transaksional. Yang eksekusi penambang koridor, yang backup oknum aparat, dan yang membiarkan adalah oknum pihak Antam itu sendiri.
Skema mengkambing hitamkan PT Lawu, perusahaan daerah, termasuk pengusaha lokal KSO MTT. Padahal jauh sebelum KSO MTT melakukan penambangan, Blok Mandiodo sudah digarap oleh belasan perusahaan sejak tahun 2016 silam.
Kerugian negara sudah barang tentu dan penegak hukum berwenang mesti komprehensif mengungkap dari hulu sampai hilir dengan asas keadilan dan kepastian hukum. Sekian tahun dengan aktor peran berjilid-jilid atas penambangan yang terjadi bisa memilah siapa tangkap siapa, membekingi siapa, dan yang melakukan pembiaran siapa.
Dari aspek hukum para pengusaha lokal di bawah naungan PT Lawu dan Perusahaan Daerah Provinsi Sultra sedang dilakukan pemeriksaan oleh Kejaksaan Tinggi Sultra. Mestinya lebih mendalami kronologis kasat kusut pertambangan PT Antam Blok Mandiodo yang digarap oleh sejumlah perusahaan swasta. Jika ditemukan ada indikasi kerugian negara, maka sudah terjadi sejak 10 tahun silam dikala ekspor nikel terbuka di tahun 2011.
Dari sisi ekonomi, pengusaha lokal mereka adalah para pejuang devisa negara. Selain penggerak ekonomi di daerah, tambang Blok Mandiodo merupakan harapan kesejahteraan masyarakat setempat. Kurang lebih 2.000 kepala rumah tangga menggantungkan nasib di sektor tambang, tidak hanya kebutuhan sekunder melainkan beli beras termasuk beli susu bayinya semua dari hasil nikel.
Buah simalakama dari ketidakpastian hukum tambang fenomenal Blok Mandiodo sesungguhnya PT Antamlah sebagai dalang dosa historis. Entah kerugian negara akan diusut tuntas, setuntas-tuntasnya oleh penegak hukum yang berkompeten, tantangannya adalah berani tidak menangkap belasan IUP yang notabenenya juga punya kekuatan hukum dan legal standing, termasuk para pejabat pemerintah yang bermain juga bisa berdalih.
Dalam perspektif ini kami bukan dalam artian membela pengusaha lokal sebagai korban terakhir, tapi mesti dikaji lebih dalam bahwa mereka adalah korban upaya cuci tangan dari aksi lidik sidik Tim Ditpiter Bareskrim Mabes Polri tahun 2020 yang kami anggap hanya sekadar main-main.
PT Antam di Konut adalah sebagai bentuk pembodohan sekaligus penghambat kesejahteraan rakyat termasuk kemajuan daerah yang stagnan.
Catatan yang mesti diketahui publik, bahwa sejak sengketa lahan Blok Mandiodo antara belasan IUP swasta melawan PT Antam justru belasan IUP berani perang terbuka menuju kepastian hukum. Berbeda dengan PT Antam yang bermodalkan pencitraan, pembenaran, dan mencari suara untuk memaksakan kelemahannya menjadi benar.
Jangan jadikan Konut sebagai daerah kolonial. Dirampas isi kekayaan buminya dengan dalih kesejahteraan rakyat di balik kekuatan BUMNisasi untuk kepentingan oknum negara. Kami berhak merdeka di atas tanah kami, daerah tercinta Bumi Anoa Konut.
Penulis: Direktur Eksekutif Explor Anoa Oheo, Ashari