Kendariinfo

Media Milenial Sultra

URL Berhasil Disalin
Opini

Hantu Inflasi di Daerah

Tulisan dari tidak mewakili pandangan dari redaksi kendariinfo
Hantu Inflasi di Daerah
Syamsul Anam, Sekretaris ISEI Kendari dan Ekonom FEB UHO. Foto: Istimewa.

Inflasi menjadi hantu bagi pemerintah, betapa pemerintah dari pusat hingga ke daerah lintang pukang berkoordinasi mengarahkan daya upaya untuk mengatasi lonjakan harga-harga, begitu gentingnya soal harga-harga ini hingga dibentuklah sebuah tim pengendali di seluruh daerah oleh Pemerintah Pusat, konon ini media untuk koordinasi para pemangku kepentingan.

Selain pemerintah, inflasi juga menghantui Bank Indonesia, institusi independen pengawal marwah moneter nasional yang kebijakannya diharap bisa ikut memengaruhi harga-harga dan perkembangan ekonomi, konon amplify kebijakan moneter diharap bisa berpengaruh terhadap harga-harga hingga tingkat regional seperti ke daerah-daerah.

Pemerintah daerah sendiri terlihat “gagap” dalam membaca anomali harga, sinyal kebingungan pemda ini terlihat sangat benderang, alih-alih memiliki rencana kontingensi lengkap, banyak daerah justru tidak memasukkan anomali harga sebagai bagian dari problem penting perencanaan daerahnya, sebagaimana tercermin dalam dokumen RPJPD, RPJMD, hingga RKPD.

Pihak yang terpapar parah dari kenaikan harga-harga sebenarnya adalah rumah tangga dan jejak keparahannya kadang tidak terlihat secara kasat mata namun goyangan inflasi ini sanggup mengubah perilaku tanpa terlebih dahulu mengubah cara pandang, dalam kutub yang lebih ke-kiri inflasi bahkan dapat kita artikan sebagai instrumen mengambil paksa pendapatan warga tanpa aturan.

Sayangnya rumah tangga tidak memiliki banyak pilihan menghadapi anomali harga-harga, menghadapi gejala kenaikan harga saja warga cenderung permisif, sebuah sikap yang boleh dibilang “pasrah” dan masa bodoh. Sebut saja menghadapi soal antrean yang mengular di setiap SPBU untuk mengisi BBM di Kota Kendari atau harga LPG subsidi yang berbeda antara aturan dan yang diterima konsumen atau yang masih segar dalam ingatan soal minyak goreng sat-set hilang dan sat-set muncul lagi.

Penting untuk dipahami model pengukuran fluktuasi harga oleh pemerintah yang menggunakan angka indeks harga konsumen (IHK) dengan puluhan hingga ratusan barang dan jasa dalam gelas ukurnya, cara ini punya sejumlah bilik gelap berkaitan dengan konsep rata-rata serta pengukuran deviasinya ditambah dengan soal metodologi yang tidak selalu bisa cocok untuk kondisi daerah.

Dari konsep tersebut kita segera mafhum, bahwa apa yang dihitung dan diumumkan oleh BPS secara rutin tentang fluktuasi harga dapat saja berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya, ini berarti apa yang diumumkan perihal inflasi sebenarnya hanya sebatas “titik kisar” atau kenaikan harga aktual di pasar dapat jauh lebih tinggi dibanding laporan BPS atau juga sebaliknya.

Problem kedua adalah, masing-masing barang dan jasa memiliki gejala sendiri-sendiri dengan keunikan masing-masing, gejala dan keunikan ini tidak saja bersumber dari sifat barang dan jasa tersebut namun juga bersumber dari luar barang dan jasa tersebut, misal tataniaga yang buruk, aturan yang tidak jelas hingga motif berburu laba (rent seeking) oleh spekulan dan perilaku redistributive combines oleh pemerintah dan bank sentral (Desoto,1992) dan (Stigler,1971).

Baca Juga:  Pemkot Kendari Luncurkan Elektronifikasi Transaksi 6 Pasar Digital

Problem ketiga, pendekatan penyelesaian yang tidak lagi bisa menjawab masalah secara prediktif dan presisi, kalau kita periksa respons pemerintah, pemerintah daerah dan Bank Indonesia atas upaya penyelesaian inflasi masih melingkar-lingkar pada aksi kuratif dan belum dapat dapat menyeberang pada sisi preventif, sementara kualitas anomali harga makin hari makin sophisticated.

Operasi pasar misalnya, ini dianggap sebagai jalan keluar tercepat yang bisa dibayangkan, ironisnya pasar murah ini serupa dengan obat pereda rasa nyeri yang mungkin baik dalam jangka pendek namun tidak untuk jangka panjang, problemnya percepatan harga-harga melesat naik jauh lebih cepat dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkannya untuk turun setelah operasi pasar dilakukan.

Wali Inflasi

Kita selalu bertanya, gerangan siapa wali amanat atas soal inflasi di Indonesia termasuk di daerah-daerah, di puncak piramida perwalian kita dapat menunjuk Bank Indonesia selaku otoritas yang gawaian utamanya memang mengendalikan harga, silakan baca Taylor (1993) atau McCallum (1988). Sayangnya Bank sentral Indonesia ini punya hak eksklusif berbasis independensi mereka dalam palagan kebijakan khususnya moneter.

Pada saat yang sama, sudah jadi pengetahuan umum bahwa amplifikasi kebijakan moneter itu juga mencakup agregasi output dan harga-harga umum, sayangnya kebijakan moneter ini punya sisi gelapnya sendiri. Pertama, instrumentasi kebijakan moneter ini umumnya dieksekusi kantor pusat (sentralistik) dengan tipikal one size fits all yang secara teoretis sebenarnya sudah usang sebagaimana diklaim Carlino dan DeFina (1998).

Kedua, sudah menjadi tabiat kebijakan baik fiskal maupun moneter yang selalu butuh waktu untuk bisa dirasakan manfaatnya, bahkan untuk kebijakan moneter sendiri kelambanan waktunya (time lag) dapat lebih panjang dan lama serta berbeda-beda dari satu wilayah ke wilayah lainnya (Havraneka dan Rusnak,2013), dari sisi ini kita segera mafhum bahwa kebijakan moneter tidak selalu dapat diandalkan untuk mengatasi masalah inflasi pada tingkat regional atau wilayah.

Lalu pada hierarki kedua kita bisa menunjuk kementerian dan lembaga terkait (K/L), sebut saja Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi UMKM, Kementerian Perindustrian, dan kalau sudah genting semua kementerian harusnya punya hot-list berkaitan dengan soal anomali harga, kita pernah mendengar Kementerian Perdagangan memiliki command centre untuk early warning system gejolak harga yang nasibnya kini kita tidak tahu lagi.

Di hierarki selanjutnya ada pemerintah daerah, di daerah anomali harga tidak menjadi perhatian serius bahkan nyaris tidak terekam dalam dokumen perencanaan daerah, di daerah bahkan beredar bisik-bisik perihal insentif bagi daerah yang berhasil menekan harga-harga secara aktif tanpa peduli bahwa daerah penyanggah juga memiliki peran penting bagi beberapa daerah dalam program aksi penanganan inflasi di daerah.

Baca Juga:  Ketinggalan IPTEK

Pengukuran inflasi juga tidak mampu merekam denyut harga pada semua daerah, keterbatasan sumber daya menyebabkan gejolak harga tidak mampu direkam lengkap secara spasial, sebut saja di Sulawesi Tenggara pengukuran hanya dilakukan pada Kota Kendari dan Kota Baubau, ini sekaligus mengonfirmasi betapa rentannya kebijakan penanganan yang diambil untuk mengatasi anomali harga dengan hanya mengandalkan data dua daerah.

Mengurai Solusi

Soal inflasi, Pemerintah Indonesia bersama Bank Indonesia sebenarnya telah 18 tahun menerapkan kerangka kerja target inflasi atau inflation targeting framework (ITF), sayangnya keandalan strategi ITF ini terutama pada level regional patut disoal, beberapa studi bahkan ragu apakah ITF memiliki kemampuan untuk dapat secara presisi mengurangi gap antara inflasi ideal dan target output bagi perekonomian nasional dan daerah.

Meski demikian pemerintah dan Bank Indonesia patut mempertimbangkan keadaan regional dengan mengembangkan semacam regional inflation targeting frame work, yang memasukkan faktor-faktor dinamik khas daerah dalam pengukuran anomali harga di tengah makin kompleksnya faktor laten pencetus inflasi misalnya pasar komoditi yang makin terintegrasi, inovasi pasar keuangan yang makin ringkas dan cepat serta faktor kelembagaan yang tidak mampu disentuh oleh pemerintah daerah dan Bank Indonesia pada level regional.

Inflasi nasional sendiri merupakan representasi dari gejolak harga secara tertimbang pada tingkat daerah, berikut keragamannnya masing-masing, penentuan target secara nasional dapat menyulitkan penyesuaian atas capaian target tersebut terutama pada daerah-daerah yang gejolak harganya bersifat persisten baik yang disebabkan oleh inflasi inti maupun administered price.

Lebih jauh keberadaan Tim Pengendali Inflasi sudah tidak memadai lagi dalam menyelesaikan anomali harga di daerah, keberadaan tim ini sudah perlu up scaling agar solusi anomali harga tidak melulu kuratif-prosedural namun padu padan dengan aksi preventif-substansial berbasis kerangka kerja penargetan inflasi secara regional tersebut.

Pemerintah daerah pada semua tingkatan perlu melakukan aksi afirmasi atas problem anomali harga agar dapat dengan cepat melakukan penyesuaian dalam kerangka penangan gejolak harga baik regional maupun secara nasional, dengan cara ini kita dapat mengikis platform one size fits all dalam kebijakan penanganan inflasi bagi daerah dan warga kita tidak kehilangan pendapatan dengan cara yang tidak sah.

Penulis: Sekretaris ISEI Kendari, Ekonom FEB UHO, Syamsul Anam

Penulis
Tetap terhubung dengan kami:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan Konten