Kendariinfo

Media Milenial Sultra

URL Berhasil Disalin
Terkini

Kamomoose, Tradisi Unik Mencari Jodoh dengan Melempar Kacang asal Buton Tengah

Kamomoose, Tradisi Unik Mencari Jodoh dengan Melempar Kacang asal Buton Tengah
Menteri Koperasi dan UMKM Tetan Masduki bersama Gubernur Sultra Ali Mazi saat mengikuti tradisi Kamomoose di Kecamatan Lakudo, Buton Tengah. Foto: Sahlan Kokasinta. (10/9/2022).

Buton Tengah – Ada beberapa daerah di Indonesia yang memiliki sebuah tradisi perjodohan yang cukup unik. Tradisi mempertemukan antara pria dan wanita itu mengikuti budaya dan adat istiadat setempat.

Seperti tradisi perjodohan masyarakat di Kecamatan Lakudo, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara (Sultra) yang disebut dengan Kamomoose. Tradisi yang unik bagi seorang pria dengan melemparkan kacang ke wadah seorang wanita yang disukainya.

Menurut Tokoh Adat Masyarakat Lakudo, Taslim, Kamomoose terbagi dari dua kata yakni Kamomo bermakna bunga yang sedang mekar dan Pose-ose bermakna gadis-gadis yang berjejeran. Tradisi ini merupakan rangkaian dari tradisi Posuo atau sarana pembersihan diri seorang gadis yang beralih status dari remaja menjadi gadis dewasa.

Menteri Koperasi dan UMKM Tetan Masduki bersama Gubernur Sultra Ali Mazi saat mengikuti tradisi Kamomoose di Kecamatan Lakudo, Buton Tengah.
Menteri Koperasi dan UMKM Tetan Masduki bersama Gubernur Sultra Ali Mazi saat mengikuti tradisi Kamomoose di Kecamatan Lakudo, Buton Tengah. Foto: Sahlan Kokasinta. (10/9/2022).

“Kamomoose merupakan rangkaian dari Posuo. Para gadis itu setelah dipingit atau di sini disebut di-ombo maka akan dikeluarkan untuk Pose-ose,” kata Taslim saat berbincang dengan Kendariinfo, Minggu (18/9/2022).

Setelah menjalani proses pingitan, para gadis kemudian dikeluarkan dari rumah dengan dijejerkan di sebuah galampa (rumah adat) dalam pesta adat Kakhiya’a. Tak ketinggalan, para gadis itu akan disediakan sebuah wadah baskom, lilin dan juga didampingi seorang dayang-dayang.

Kemudian para pria yang memiliki niat dan hajat untuk meminang, maka akan datang dengan melihat para gadis yang dijejerkan. Taslim mengatakan jika para pria yang disebut sebagai Fopanga itu ada ketertarikan, maka akan melemparkan kacang atau apa pun itu melebihi dari orang lain. 

Kacang tersebut akan dilemparkan ke dalam sebuah baskom berisi lilin dinyalakan yang sedang dipegang oleh para gadis itu. Para gadis akan memperhatikan siapa saja pria-pria yang melemparkan kacang itu dalam jumlah yang banyak ke dalam baskom yang sedang dipegang.

“Kalau ada ketertarikan kepada gadis tersebut, mereka akan memberikan kacang-kacangan lebih dari yang lain. Jadi kalau kacang itu diberikan berarti tanda ada hati kepada sang gadis,” ungkap Taslim.

Tak hanya si wanita yang memegang baskom, para orang tua yang berdiri tidak jauh dari tempat itu akan memperhatikan secara serius siapa-siapa saja pria yang banyak melemparkan kacang atau benda berharga lainnya kepada sang anak.

Sindi salah seorang gadis Lakudo saat sedang menyambut Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki dalam tradisi Kamomoose.
Sindi salah seorang gadis Lakudo saat sedang menyambut Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki dalam tradisi Kamomoose. Foto: Sahlan Kokasinta.

“Si gadis itu juga tahu siapa yang jatuhkan tadi lebih banyak, mereka akan menandai, oh ini si laki-laki itu, anaknya itu dan sebagainya,” ujarnya.

Baca Juga:  Bentrok 2 Kelompok Warga di Kolaka Utara, 1 Tewas dan 5 Luka-Luka

Setelah mengetahui siapa para pria yang memberikan sinyal ketertarikan dengan pelemparan kacang, maka sang gadis akan berada di dalam rumah berdiam diri. Mereka tidak diperbolehkan untuk keluar rumah sampai orang tua atau keluarga pria yang tertarik datang ke rumah si gadis tersebut. 

Kedatangan orang tua pria atau perwakilan disebut dengan Kangkulabe yang bermakna utusan. Para Kangkulabe akan diutus ke rumah atau keluarga si wanita tersebut untuk membuang bahasa sebagai isyarat dari ketertarikan pria yang membuang kacang ke anak mereka.

“Kangkulabe ini datang ke rumah si wanita untuk membuang bahasa. Sekiranya bahasa mereka diterima, pihak wanita tadi akan memberikan waktu selama 3 hari kepada Kangkulabe untuk memutuskan permintaan mereka,” beber Taslim.

Waktu selama 3 hari itu sebagai syarat para orang tua wanita untuk menunggu mimpi yang bagus. Sekiranya mimpi dari orang tua si wanita tidak baik untuk anak-anak mereka, maka tradisi Kamomoose terhenti begitu saja. Namun jika para orang tua wanita tadi bermimpi yang baik, maka Kangkulabe dari pihak pria akan diberi tahu.

“Nah kalau mimpinya bagus maka ada lagi utusan dari pihak perempuan untuk menyampaikan kepada pihak laki-laki bahwa mereka diterima,” ungkapnya.

Setelah adanya bahasa penerimaan yang disampaikan kepada pihak laki-laki, maka pihak perempuan harus menutup pintu hati dengan rapat atau disebut dengan Cindapolangku kepada laki-laki lain. 

“Ada namanya Cindapolangku. Itu sama dengan kita menutup pintu menandakan bahwa rumah itu ada wanita yang sudah ditutup pintunya oleh laki-laki. Artinya tidak ada lagi yang boleh masuk,” ujarnya.

Taslim mengungkapkan saat dilakukan Cindapolangku, pihak laki-laki harus membawa mahar kecil yang disebut dengan Boka atau mata uang masyarakat dulu. Boka yang dibawa oleh laki-laki yakni sebanyak 3 Boka dikalikan 60 dengan total 180 Boka. Namun saat ini, Boka sudah digantikan dengan mata uang rupiah.

“Sekarang itu 1 boka Rp60 ribu, maka dikalikan saja dengan itu semua. Itu total mahar kecil yang harus diberikan oleh pria ke wanita tadi,” ungkapnya.

Setelah proses Cindapolangku dan pemberian mahar kecil, kata Taslim, kedua pihak membuat kesepakatan bahwa pihak laki-laki memiliki kewajiban kepada wanita untuk memberikan nafkah seperti kebutuhan hidup sampai ke jenjang pernikahan. 

“Kewajiban itu seperti, kalau si laki-laki memiliki pekerjaan dengan upah Rp20 ribu per hari, maka dia harus berikan ke si wanita seumpama Rp5 ribu. Itu harus ada walaupun mereka belum diikat dengan pernikahan yang sah,” jelasnya.

Baca Juga:  Pendemo Tolak Munas Ricuh, Lempari Kantor Kadin Sultra di Kendari

Memang dalam kesepakatan ini, kata Taslim, pernikahan mereka belum diikat dengan ikatan suci. Namun si pria sudah datang untuk menahan si wanita untuk tidak menikah dengan orang lain. Artinya, si laki-laki harus bertanggung jawab akan hal itu. Bahkan, sampai ke urusan mandi. Jika dulu, air harus diambilkan si laki-laki.

“Jangan sampai wanita ini sudah diikat tapi kebutuhannya tidak terpenuhi. Bagaikan ayam kalau diikat di sebuah pohon, lalu tidak diberikan makan, dia akan memutuskan tali dan mencari makan. Mungkin diibaratkan seperti itu,” ujar Taslim.

Taslim mengungkapkan nafkah itu dilakukan hingga perkawinan mereka sah. Setelah itu laki-laki tersebut memberikan nafkah lahir dan batin sesuai dengan kewajiban suami dan istri.

Para gadis remaja berjejer dengan rapih ditemani dayang-dayang dan baskom berisi lilin dalam tradisi Kamomoose untuk menyambut Menteri Koperasi dan UMKM Tetan Masduki dan rombongan berkunjung ke Buton Tengah.
Para gadis remaja berjejer dengan rapih ditemani dayang-dayang dan baskom berisi lilin dalam tradisi Kamomoose untuk menyambut Menteri Koperasi dan UMKM Tetan Masduki dan rombongan berkunjung ke Buton Tengah. Foto: Sahlan Kokasinta. (10/9/2022).

Tradisi Kamomoose Bisa Batal

Taslim mengungkapkan dalam tradisi ini tidak ada jangka waktu kedaluwarsa, namun dikhawatirkan adanya penghianatan satu di antara mereka. Seperti laki-laki lain menggoda si wanita yang sudah diikat oleh laki-laki sebelumnya.

“Namanya manusia bisa saja berbalik hati kepada orang lain,” ujarnya.

Lalu bagaimana aturan dalam tradisi itu? Taslim mengungkapkan jika si wanita yang berpaling kepada laki-laki lain, maka laki-laki yang lain itu wajib mengganti Boka hingga nafkah yang diberikan laki-laki pertama. Penggantian itu akan dikali dua.

“Tapi kalau laki-laki yang berkhianat, maka tidak ada pengembalian apa yang sudah diberikan kepada di wanita tadi,” ujarnya.

Menurut Taslim, kepercayaan masyarakat Lakudo tradisi ini muncul di zaman Raja Mulae Sangia i-Gola. Di wilayah Lakudo, ada tokoh masyarakat bernama La Ode Gumpa mendapati anak perempuannya pulang menangis karena ada darah yang keluar. Darah itu merupakan tanda anaknya sudah dewasa. 

Mengetahui hal itu, La Ode Gumpa kemudian membuat hajatan besar-besaran sebagai tanda kesyukuran anaknya sudah dewasa. Saat itu, semua kerabat Lakudo dari berbagai daerah diundang dan La Ode Gumpa mengumumkan anaknya boleh dipinang oleh siapapun dengan menggunakan tradisi Kamomoose.

“Jadi Kamomoose itu berasal dari Lakudo dan masih terus dilestarikan hingga saat ini. Untuk tradisi saat ini biasa dilakukan setelah lebaran Idulfitri, semua gadis-gadis dikumpulkan,” pungkasnya.

Editor Kata
Tetap terhubung dengan kami:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan Konten