Riset: Tambang Nikel Hancurkan Pulau Kabaena dan Ruang Hidup Suku Bajo
Bombana – Hadirnya pertambangan nikel di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara (Sultra), menghancurkan lingkungan dan ruang hidup masyarakat suku Bajo. Simpulan itu berdasarkan hasil riset Satya Bumi dan Walhi Sultra berjudul “Bagaimana Demam Nikel Menghancurkan Pulau Kabaena dan Ruang Hidup Suku Bajau?” yang dipublikasikan pada Senin, 9 September 2024.
Dalam riset itu, tim peneliti berhasil memotret dampak kerusakan lingkungan, ekonomi, dan kesehatan masyarakat, akibat pertambangan nikel. Selain itu, mereka mengungkap nama-nama besar yang dekat dengan praktik korupsi di sektor pertambangan nikel di Pulau Kabaena. Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Pulau Kabaena juga disebut terkoneksi dalam rantai pasokan nikel untuk baterai kendaraan listrik di seluruh dunia.
Masalah pertambangan di Pulau Kabaena hadir setelah adanya revisi aturan tata ruang Sultra pada 2010. Salah satu usulan dalam revisi itu adalah menurunkan status kawasan hutan, dari hutan lindung menjadi hutan produksi. Revisi itu dikuatkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.465/Menhut-II/2011.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan mengubah fungsi kawasan hutan seluas 115.111 hektare di Sultra, termasuk di antaranya Pulau Kabaena. Penghilangan status kawasan hutan lindung membuat banyak perusahaan tambang bisa masuk ke Pulau Kabaena. Secara keseluruhan, luas konsesi yang pernah tercatat ada di Pulau Kabaena kurang lebih 76.438,1 hektare (85,79 persen dari luas Pulau Kabaena).
Menurut Peneliti Satya Bumi, Sayiidattihayaa Afra, Pulau Kabaena seharusnya dilindungi dari aktivitas pertambangan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melarang tegas aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari 2.000 meter persegi.
Di Pulau Kabaena, pelanggaran terlihat jelas. Tambang-tambang nikel kini mendominasi pulau, menggusur hutan, mencemari laut, dan mengubah kehidupan masyarakat setempat. Sayiidattihayaa Afra mencatat 650 kilometer persegi dari 891 kilometer persegi luas total Pulau Kabaena dikuasai tambang. Artinya 73 persen dari luas Pulau Kabaena telah diserahkan kepada perusahaan tambang.
“Pulau kecil mempunyai kerentanan tinggi terhadap perubahan iklim dan masyarakat yang ada di pulau kecil tak punya diversifikasi pendapatan,” kata Sayiidattihayaa Afra pada peluncuran laporan tersebut di Jakarta, Senin (9/9/2024).
Rentetan pelanggan hukum, mulai dari pemberian izin sampai eksploitasi tambang nikel menghadirkan masalah serius bagi masyarakat lokal yang mendiami Pulau Kabaena, utamanya suku Bajo dan Moronene. Limbah tambang mengalir ke laut, membunuh terumbu karang, dan mencemari perairan di sekitar rumah-rumah panggung suku Bajo.
Di beberapa desa, air laut yang keruh menyebabkan gatal-gatal dan penyakit kulit serius di kalangan nelayan dan anak-anak. Bagi suku Bajo, yang sejak ratusan tahun hidup dari laut, pencemaran adalah pukulan telak. Limbah tambang mencemari laut, membunuh terumbu karang, dan membuat ikan menjauh.
Di samping itu, anak-anak Bajo yang dulunya dilatih menyelam sejak usia tiga tahun, kini tidak lagi diajarkan. Air laut yang tercemar membuat kulit mereka gatal dan luka. Lebih tragis, tiga anak suku Bajo dilaporkan meninggal dunia akibat jatuh ke air keruh, karena tidak bisa berenang.
“Kondisi ini sangat memprihatinkan. Secara tradisional dan turun-temurun sejak anak suku Bajo berusia tiga tahun, mereka telah diajarkan menyelam. Karakteristik suku Bajo yang menggantungkan hidup di laut membuat kemampuan menyelam ini sangat krusial bagi preservasi kehidupan,” ungkap Sayiidattihayaa Afra.
Namun suku Bajo tidak hanya kehilangan laut, tetapi juga masa depan. Saat ikan tak lagi mendekat, banyak dari mereka terpaksa meninggalkan tradisi nelayan dan beralih menjadi buruh kasar di perusahaan tambang nikel. Pekerjaan itu bukanlah pilihan, melainkan satu-satunya jalan untuk bertahan hidup.
Namun pekerjaan di tambang pun tidak memberi harapan. Para nelayan yang dulu menggantungkan hidup dari laut, kini terpaksa menjadi buruh kasar di tambang, dibayar rendah, dan bekerja tanpa jaminan kesehatan.
Sementara bagi masyarakat suku Moronene yang dulu hidup dari perkebunan kacang mete dan kopi kini kehilangan lahan. Tanaman di sekitar tambang menjadi tidak subur, memaksa mereka menjual tanah kepada perusahaan tambang.
Direktur Eksekutif Walhi Sultra, Andi Rahman, mengatakan kebijakan percepatan transisi energi menyebabkan laju perubahan iklim, pelanggaran HAM, dan rusaknya sumber penghidupan masyarakat lokal. Dalam kasus pelanggaran HAM, Walhi Sultra mencatat 32 orang warga lokal dilaporkan ke polisi pada 2022, dua di antaranya menjadi terdakwa.
“Saat kami mendampingi warga, ibu-ibu yang melakukan aksi mempertanyakan amdal ternyata berakhir menjadi tersangka,” kata Andi Rahman.