Sanksi Pidana Menanti bagi Pelaku Money Politic
Pelaksanaan demokrasi melalui sarana pemilu makin diperkuat yang ditandai dengan diadopsinya pengaturan prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan pemilu dalam konstitusi hasil perubahan, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Aturan yang mengatur mengenai pemilu hasil pendelegasian dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diejawantahkan ke dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Undang-undang tersebut mengatur segala hal berkaitan dengan teknis dalam proses Pemilu, baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Eksekutif. Meskipun aturan mengenai Pemilu telah diatur sedemikian rincinya bukan berarti Pemilu di Indonesia bebas dari problematika. Persoalan utama yang kerap kali menjadi hal yang disorot lembaga penyelenggara Pemilu yaitu persoalan mengenai money politic. Hingga saat ini, praktik money politic atau politik uang dalam penyelenggaraan pemilihan umum masih menjadi musuh utama demokrasi, karena praktiknya dianggap akan memengaruhi dan mengurangi kebebasan seseorang dalam menentukan hak pilihnya.
Politik uang atau money politic dalam Bahasa Indonesia dan bahasa KUHP adalah suap, arti suap dalam buku kamus besar Bahasa Indonesia adalah uang sogok. Politik uang adalah upaya memengaruhi orang lain dalam hal ini masyarakat dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan serta tindakan membagi-bagikan uang, baik milik pribadi atau partai untuk memengaruhi suara pemilih.
Politik uang dengan demikian adalah suatu bentuk pemberian ataupun janji untuk menyuap seseorang baik agar orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan dengan cara tertentu pada saat pemilu, pemberian biasanya dapat berupa uang, maupun barang.
“Politik uang dalam Undang-Undang Pemilu merupakan salah satu tindak pidana”.
Tindak pidana Pemilihan Umum menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penylesaian Tindak Pidana Pemilihan dan Pemilihan Umum adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan sebagai mana diatur dalam Undang-undang nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pelanggaran Pemilu di Indonesia diatur dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 mulai Pasal 488 sampai dengan Pasal 554 sehingga demikian Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 memiliki 66 (enam puluh enam) pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana. Namun demikian, pasal-pasal ini sendiri perlu dibagi lagi, setidak-tidaknya menjadi 2 (dua), yaitu ketentuan-ketentuan pidana yang sifatnya umum dan bisa jadi tidak terikat dengan tahapan-tahapan yang ada dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum dan yang kedua adalah ketentuan pidana yang terkait dengan tahapan-tahapan.
Secara anatomis, tindak pidana pemilu di Undang-undang nomor 7 tahun 2017 terbagi dalam beberapa kategori. Pertama, tindak pidana yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, diatur dalam 24 pasal meliputi: Pasal 489, 499, Pasal 501 sampai dengan Pasal 508, Pasal 513-514, Pasal 518, Pasal 524, Pasal 537-539, Pasal 541-543, Pasal 545 dan 546, Pasal 549 dan 551. Kedua, tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh masyarakat umum, diatur dalam 22 pasal yakni Pasal 488, 491, Pasal 497-498, Pasal 500, Pasal 504, Pasal 509- 511, Pasal 515-517, Pasal 519-520, Pasal 531-536, Pasal 544, Pasal 548. Ketiga, tindak pidana pemilu oleh aparatur pemerintah, ditetapkan dalam 2 pasal yakni Pasal 490, dan 494. Keempat, tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau pejabat publik, ditetapkan dalam 2 pasal yakni Pasal 522 dan 547. Kelima, tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh korporasi, diatur dalam 5 pasal meliputi: Pasal Pasal 498, Pasal 525 ayat (1), Pasal 526 ayat (1), Pasal 529-530. Keenam, tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh pelaksana kampanye dan peserta pemilu terdiri atas 9 pasal yakni Pasal 495, 496, Pasal 521, Pasal 523, Pasal 525 ayat (2) Pasal 526 ayat (2), Pasal 527 dan Pasal 528, Pasal 550. Tindak pidana pemilu oleh calon presiden dan wakil presiden, terdiri atas 2 pasal yakni Pasal 552 dan Pasal 553.
Berbicara tentang money politik ada beberapa pasal yang mengatur tentang sanksi pidana bagi pelaku politik uang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, diantaranya Pasal 278, 280, 284, 515, dan 523. Sanksi yang menunggu pelanggar pun bervariatif, mulai dari sanksi pidana 3 sampai dengan 4 tahun hingga denda 36 juta rupiah sampai dengan 48 juta rupiah.
Terkhusus mengenai sanksi tindak pidana politik uang, diatur pada Pasal 515 dan pasal 523 peraturan undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum. Agar lebih konkret, penulis akan mengutip ketentuan tersebut secara lengkap yakni sebagai berikut:
- Pasal 515 Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
- Pasal 523 ayat (1) berbunyi: setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). Pasal 523 ayat (2) berbunyi: Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada Pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah). Pasal 523 ayat (3) berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Dalam tindak pidana ini, subjek tindak pidana pemilu ada 2 (dua), di antaranya: yang pertama Delik Komun (Tindak pidana yang dapat dilakukan oleh setiap orang) contohnya terdapat dalam Pasal 515 dan Pasal 523 ayat (3) Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang kedua Delik Propria (Tindak pidana yang subjeknya tertentu/tidak setiap orang) contoh terdapat dalam Pasal 523 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Dari hasil kajian studi faktor-faktor yang berpengaruh atau berhubungan erat dengan terjadinya politik uang adalah pertama, tingkat pendapatan pemilih (kemiskinan); kedua, tingkat pendidikan pemilih; ketiga, tingkat party id (kedekatan dengan parpol); keempat, dianggap kelaziman (kultur budaya) karena praktik yang telah berlangsung berulangkali; kelima, pertimbangan memilih kandidat yang memberikan keuntungan individu maupun kelompok secara langsung (pragmatisme materialistik); keenam, kekecewaan masyarakat terhadap kinerja kandidat setelah terpilih; ketujuh, lemahnya dialektika untuk mencari nilai-nilai ideal dalam membangun visi bersama; kedelapan, lemahnya aturan main dalam kontekstasi Pemilu.
Begitu juga dengan para calon (kontestan) atau elit politik yang masih memandang bahwa uang memiliki kekuatan untuk dijadikan metode dalam merebut kekuasaan pada perhelatan politik yang bernama Pemilu. Keyakinan ini yang kemudian menumbuhkan sikap dan perilaku pragmatisme materialistik alias praktek politik uang (transaksi material) dalam pemilu ketimbang menawarkan program atau visi dan misi (transaksi kebijakan). Pandangan, sikap dan prilaku seperti ini salah. Jadi tidak hanya individu dari lapisan masyarakat, dari kontestan atau elit politik perlu ada perubahan sikap dan perilaku. Termasuk juga penyelenggara Pemilu dalam bersikap dan berprilaku harus berpegang pada asas, landasan, prinsip dan sumpah janji penyelenggara (berpegang pada kode etik penyelenggara).
Menurut penulis untuk mencegah terjadinya praktik politik uang, bisa dilakukan melalui edukasi di lembaga pendidikan formal dan nonformal. Di lembaga pendidikan formal harus ada program dan peran partai politik dan Organisasi kemasyarakatan untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Partai politik dan organisasi kemasyarakatan mempunyai peran penting dalam upaya menyadarkan masyarakat untuk mencegah sekaligus menghindari money politic (politik uang) di setiap Pemilu. Untuk itu diharapkan seluruh elemen, baik tokoh masyarakat, tokoh agama, dan kalangan pelajar, serta pemuda melibatkan dirinya, dalam semua proses pendidikan politik, sekaligus proses pelaksanaan Pemilu. Semua elemen masyarakat supaya aktif menyosialisasikan pemberantasan money politic (politik uang), bahkan menggalakkan ”budaya sadar HUKUM” sebagai gaya hidup kepada kandidat dan kader partai politik termasuk pada masyarakat, agar mereka menolak ketika ada tawaran money politic (politik uang). Kemudian Sementara itu, pendidikan non formal merupakan program pendidikan yang dilakukan penyelenggara yang kini dilakukan secara berjenjang. Seperti mempertajam sosialisasi politik sebagai senjata untuk meminimalisir praktik budaya money politic, karena sosialisasi lebih terkhusus pada penyuluhan tentang sistem, budaya dan persoalan politik lainnya. Dengan sosialisasi ini bisa menjadi daya tarik masyarakat, guna merubah budaya money politic (politik uang) yang sangat meresahkan. Karena Pemilu sebagai sebuah mekanisme dalam berdemokrasi, merupakan peristiwa penting untuk memilih pemimpin dalam pemerintahan. Sehingga penulis yakin dengan melakukan edukasi di lembaga pendidikan formal dan non-formal praktik politik uang pada penyelenggaraan pemilihan Umum yang akan datang dapat diminimalisasi. Bahaya politik uang akan berdampak kepada siapa saja yang melakukan praktik kotor tersebut karena politik uang ialah kejahatan besar dalam proses berdemokrasi.
Olehnya itu paling tidak terdapat 5 poin penting yang dapat penulis kemukakan guna mencegah terulangnya tindak pidana politik uang ini selain yang disebutkan di atas. Pertama, diperlukan regulasi Pemilu yang jelas (lex certa) dan tegas (lex stricta) dalam mengatur rumusan tindak pidana politik uang termasuk sanksi pidananya yang juga harus maksimal. Tidak bisa lagi menggunakan model pengaturan yang konvensional seperti dalam Undang-Undang Pemilu sekarang ini yang masih menggunakan perspektif KUHP. Hal yang perlu ditegaskan adalah sanksi pidana harus mampu memberikan efek jera (deterrence effect) melalui strafmaat yang berbentuk indeterminate sentence. Kedua, dibutuhkan aparat penegakan hukum yang berintegritas, memiliki kredibilitas dan komitmen dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Dalam konteks itu, Sentra Gakumdu sebagai dapur pengendali proses tindak pidana politik uang tidak boleh terinfeksi oleh virus-virus korupsi seperti suap menyuap atau perbuatan culas (curang) lainnya. Ketiga, bertalian dengan poin kedua, peradilan tindak pidana politik uang haruslah dilaksanakan dengan prinsip due process of law yang bercirikan peradilan fair, objektif, cepat dan sederhana. Pada titik inilah penegakan hukum akan kelihatan berwibawa dan disegani. Keempat, penyelenggara Pemilu terutama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus ditempatkan tidak hanya sebagai mitra Komisi Pemilihan Umum (KPU) semata tetapi juga sebagai mitra masyarakat. Bawaslu tidak bisa menjadi organ eksklusif dalam melakukan pengawasan tetapi harus mampu menyatu dengan lingkungan masyarakat sekitar sehingga potensi-potensi terjadinya politik uang dapat diprediksi dari jauh hari dan dapat dicegah sedini mungkin. Untuk itu diperlukan pula komisioner Bawaslu yang dapat menjaga integritasnya agar tak mudah dipengaruhi, dibeli oleh penjahat demokrasi. Kelima, KPU harus bisa semaksimal mungkin memberi edukasi politik kepada masyarakat dengan menggandeng partai politik untuk mencerdaskan masyarakat dalam hal pencegahan tindak pidana politik uang. Cara-cara pendidikan politik selama ini yang terkesan formalistis perlu diubah. Masyarakat sebagai subjek sekaligus objek dalam Pemilu perlu dibuatkan pendekatan khusus, seperti: Pendekatan tersier yang tentunya untuk memenuhi kebutuhan tersier ini, kebutuhan primer dan sekunder sudah harus terpenuhi. Pencegahan primer difokuskan pada pencegahan masyarakat yang dimulai dari lingkungan rumah tangga, tempat bekerja, hingga hubungannya dengan aktivitas di luar lingkungannya. Pencegahan sekunder, lebih condong pada upaya untuk mengidentifikasi dan memprediksi potensi terjadinya kejahatan dengan melihat realitas sosial. Sedangkan pencegahan tersier merupakan upaya untuk membuat semacam kesepakatan dengan pelaku tindak pidana agar tidak lagi mengulangi perbuatannya. Dalam konteks itu, masyarakat dapat disehatkan pikirannya sehingga mereka mampu menyadari bahwa demokrasi yang sehat hanya akan lahir dari pikiran masyarakat yang sehat yang pada ujungnya akan melahirkan pemimpin yang sehat dari korupsi. Masyarakat harus ada rasa memiliki atas daerah atau negaranya sehingga tidak mudah dibujuk dalam perilaku transaksional dan koruptif ini yang disebut sebagai pendekatan sekunder.
Merujuk pada ulasan tersebut di atas baik pendekatan primer, sekunder dan tersier hubungannya dengan faktor pendorong terjadinya kejahatan dan upaya penegakan hukumnya maka akan sangat bermanfaat jika digunakan dalam mencegah tindak pidana politik uang.
Hal demikian dapat disimpulkan bahwa manakala berbicara tentang pencegahan kejahatan atau tindak pidana pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari faktor pendorongnya dan proses penegakan hukumnya pasca kejahatan terjadi. Maka posisi aparat penegak hukum, peradilan yang efektif, dan hukum yang berwibawa dapat menjadi benteng kokoh untuk mencegah terulangnya kejahatan di masa depan.
Penulis: Staf Divisi Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Kabupaten Konawe Selatan, LM Ruslan Affandy, SH