Kendariinfo

Media Milenial Sultra

URL Berhasil Disalin
Terkini

UHO Pakai Aturan “Kuno” Selesaikan Dugaan Pelecehan Oknum Dosen di Kendari

UHO Pakai Aturan “Kuno” Selesaikan Dugaan Pelecehan Oknum Dosen di Kendari
Ketua Dewan Kehormatan Kode Etik dan Disiplin (DKKED) Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, La Iru. Foto: La Ode Risman Hermawan/Kendariinfo. (27/7/2022).

Kendari – Tim Ad Hoc Dewan Kehormatan Kode Etik dan Disiplin (DKKED) Universitas Halu Oleo (UHO) ternyata menggunakan aturan “kuno” dalam menyelesaikan kasus dugaan pelecehan oknum dosen terhadap mahasiswi di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra).

Aturan yang digunakan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil. Padahal ada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud-Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.

Aturan itu membahas secara eksplisit bentuk, pencegahan, perlindungan korban, dan pemberian sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual di perguruan tinggi. Ketua DKKED UHO, La Iru, malah mengatakan bahwa Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 mengatur kekerasan seksual, bukan pelecehan.

“Jangan lupa Permendikbud-Ristek itu berbicara penanganan kekerasan seksual, bukan pelecehan seksual. Jangan lupa, beda itu,” kata La Iru kepada awak media saat ditemui di depan Ruang DKKED Lantai 4 Gedung Rektorat UHO, Rabu (27/7/2022).

Menurut La Iru, kekerasan seksual adalah ranah kepolisian seperti yang tertuang dalam Pasal 294 ayat 2 KUHP. Padahal ada payung hukum terbaru lagi yang secara khusus mengatur tentang tindak pidana kekerasan seksual yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 (UU TPKS).

Baca Juga:  PKB Sultra Serukan Politik Riang Gembira saat Konsolidasi di Muna Raya

“Pelanggaran tentang kesusilaan, itu ranah kepolisian yang kebetulan sedang berjalan. Ada yang namanya ranah pidana terkait kesusilaan itu Pasal 294 ayat 2 KUHP,” ujarnya.

Selain itu, dalam Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2022 perguruan tinggi diwajibkan membentuk Tim Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Namun La Iru mengungkapkan bahwa satgas tersebut memiliki fungsi yang hampir sama dengan DKKED.

“Itu bukan kewenangan kami (membentuk satgas), tapi itukan merujuk ke Permendikbud-Ristek tadi. Sebenarnya tidak jauh beda dengan kode etik, sesuai itu juga dibentuk sebenarnya. Hanya namanya yang berbeda,” ungkapnya.

Saat ini, Prof B, oknum guru besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UHO hanya terbukti melanggar kode etik pegawai negeri sipil. Hal tersebut berdasarkan hasil temuan Tim Ad Hoc DKKED UHO usai memeriksa pelapor, terlapor, dan dua saksi terkait dugaan pelecehan Prof B.

“Pelapor dipanggil terlapor melalui telepon. Di sana, pelapor mengerjakan, memeriksa tugas-tugas, dan merekap nilai, itu pelanggaran etik,” jelas La Iru.

Dari temuan tersebut, Tim Ad Hoc DKKED UHO bakal memberikan rekomendasi kepada rektor untuk memberikan sanksi kepada terlapor. La Iru tidak menyebutkan secara tegas hukuman yang bakal diberikan, namun dia mengisyaratkan terlapor akan dikenakan sanksi sedang.

Baca Juga:  Sudah 6 Bulan, Penerbangan di Bandar Udara Sugimanuru Mubar Terhenti

“Sanksinya ada ringan, sedang, dan berat. Tapi belum bisa kami sampaikan, itu keputusan rektor. Kami hanya merekomendasikan, mungkin sanksinya bisa sedang,” pungkasnya.

Tetap terhubung dengan kami:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan Konten