Tambang Pasir Nambo: Dilema Penegakan RTRW dan Pendapatan Pajak
Kendari – Papan larangan aktivitas pertambangan pasir kuarsa di Kelurahan Nambo masih tampak di sisi pos pintu masuk kawasan. Sebagian tiangnya tertimbun tanah materiel jalan tambang. Hingga Kamis, 12 Mei 2022, plang masih berdiri kokoh di tempat pertama kali ditancapkan.
Papan larangan tersebut dipasang saat kali kedua Pemerintah Kota (Pemkot) Kendari menyegel tambang pasir Nambo. Waktu itu, Senin, 16 Agustus 2021, Lorong Tani mendadak dipadati kendaraan dinas dengan pelat merah. Iring-iringan terhenti di depan penampungan sekaligus lokasi produksi tambang pasir atau galian C Nambo.
Sejumlah pria berpakaian seragam warna cokelat turun dari mobil dengan membawa plang bertulis, “Pemerintah Kota Kendari”. Di bawah tulisan tersebut, ada lagi kalimat, “Pemberitahuan untuk tidak melakukan pengolahan pasir sebelum mendapat izin pemanfaatan ruang”.
Pemasangan plang bertujuan agar para pekerja tidak lagi melakukan aktivitas sampai batas waktu yang belum ditentukan. Ialah Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Kendari, Nahwa Umar, yang memimpin langsung penyegelan. “Atas arahan KPK, sehingga kami langsung turun ke lapangan,” kata Nahwa.
Alasan penyegelan yang paling santer diucapkan Pemkot Kendari adalah pihak perusahaan tidak memberi pemasukan bagi daerah melalui pajak. “Kami tidak bisa pungut retribusi untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga hanya menjadi penonton,” ujar Wali Kota Sulkarnain Kadir, saat menghadiri kegiatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) pada 1 Desember 2021 di Kendari.
Namun keterangan berbeda datang dari Asrifin, Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Asri Perkasa, pengelola tambang pasir di Kelurahan Nambo.
“Kenapa lagi soal Tambang Pasir Nambo?” Tanya Asrifin, saat ditemui pada Kamis (12/5/2022), sekitar pukul 10.00 WITA. Wajahnya tak ramah. Nada suaranya meninggi sembari bertanya “Kamu dari mana?”
Waktu itu, Asrifin sedang duduk di teras Rumah Makan dan Warkop Mini Ketapang, Jalan Langgai, Kelurahan Nambo bersama salah seorang tamunya. Tempat itu sekaligus kediaman Asrifin.
Dia awalnya enggan berkomentar banyak terkait tambang pasir milik KUB Asri Perkasa. Dia meminta agar persoalan tersebut ditanyakan langsung ke Pemkot Kendari. “Ke sana saja. Jangan sampai saya salah bicara,” ujar Asrifin. Kalimat itu pun berkali-kali dilontarkan.
Namun saat ditanya soal legalitas KUB Asri Perkasa, Asrifin langsung merespons dengan mengatakan seluruh izin telah terbit dan pajaknya selalu dibayar. “Pajak penjualan, pajak penghasilan, semua pajak kami bayar, pak. Masuk ke kas daerah lagi,” katanya.
Dia pun mau menunjukkan salah satu bukti pembayaran pajaknya ke Pemkot Kendari yang tersimpan di telepon genggamnya. Pembayaran yang diperlihatkan adalah Pajak Mineral Bukan Logam senilai Rp15 juta. “Pajak Mineral Bukan Logam. Nomor rekeningnya jelas, pak,” kata Asrifin sambil menunjukkan bukti pembayaran tersebut.
Selain itu, Asrifin juga menunjukkan surat Keterangan Rencana Kota (KRK) dan peta kawasan KUB Asri Perkasa yang diterbitkan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Kendari. Dokumen itu lengkap dengan dibubuhi tanda tangan Kepala Bidang (Kabid) Tata Ruang PUPR Kota Kendari, Seko Kaimuddin Haris.
“Ini KRK-nya sudah ada. Sudah lengkap. Ini petanya dari pemerintah. Bukan saya yang bikin ini, pak. Stempelnya dari pemerintah kota,” lanjut Asrifin.
Menurut Asrifin, dokumen tersebut juga menjadi pegangan mereka untuk terus melakukan aktivitas pertambangan meski telah dua kali disegel Pemkot Kendari. “Sudah turun (menyegel). Mereka bilang bahwa tidak bayar pajak, ternyata bayar. Kami, pak, kalau tidak bayar pajak, tongkang kami tidak bisa berangkat,” jelasnya.
Silang Pendapat Penegakan RTRW
Di sisi lain, aktivitas penambangan pasir kuarsa di Kelurahan Nambo yang dilakukan terus-menerus menunjukkan lemahnya Pemkot Kendari menegakkan aturannya sendiri. Pemerintah daerah juga tidak benar-benar serius mengatasi masalah yang timbul setelah adanya pertambangan pasir dalam skala besar tersebut.
Ketidakseriusan Pemkot Kendari terlihat setelah adanya laporan fiktif kepada pihak kepolisian terkait aktivitas ilegal tambang pasir Nambo. Tidak ada surat laporan dan pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan dari kepolisian, seperti kasus-kasus kriminal lainnya.
Polda Sultra tercatat hanya menerima laporan dari Muhammad Alkirab, pengurus Aliansi Masyarakat Sultra yang menolak keberadaan tambang pasir Nambo pada 3 Oktober 2021 lalu. Kabid Humas Polda Sultra, Komisaris Besar Polisi Ferry Walintukan mengatakan, perkembangan kasus tersebut saat ini masih dalam proses penyelidikan.
“Ada beberapa saksi yang dipanggil juga belum hadir. Setelah itu semua rampung akan dilakukan gelar perkara, apakah kasusnya dapat ditingkatkan ke penyidikan atau tidak,” katanya melalui pesan WhatsApp, Selasa (22/3/2022) lalu.
Padahal menurut Sekda Kota Kendari, Nahwa Umar, laporan ke polisi dilayangkan setelah menyegel lokasi pengolahan pasir Nambo. Nahwa yang waktu itu memimpin langsung penyegelan memerintahkan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Kendari segera melapor ke polisi.
“Itu perintah saya. Setelah kami police line dan pasang plang, saya perintahkan lapor. Coba cek ke Dinas PUPR apakah di Polda Sultra atau di Polresta Kendari dilaporkan,” ujar Nahwa, Jumat (22/4/2022) lalu.
Tambang pasir Nambo yang dilaporkan ke polisi pun menjadi “senjata” Pemkot Kendari untuk menjawab tuntutan Aliansi Pemuda Pemerhati Lingkungan (AP2L) Sultra pada 10 Januari 2022 lalu. Waktu itu, AP2L Sultra berunjuk rasa, menyoal pertambangan pasir yang mencemari Pantai Nambo dan tidak memberi pemasukan bagi daerah melalui pajak.
“Sekarang ini sudah penanganannya Mabes Polri. Kami, pemerintah kota sama sekali tidak punya kewenangan. Jadi tahapannya sudah berjalan sejak dikeluarkannya surat teguran,” jelasnya saat menerima kedatangan AP2L Sultra di ruang rapat Sekda Kota Kendari.
Namun keterangan berbeda disampaikan Kabid Tata Ruang PUPR Kota Kendari, Seko Kaimuddin Haris. Seko yang ditemui di halaman Kantor Dinas PUPR Kota Kendari, Kamis (28/4/2022) lalu, mengaku tidak tahu terkait aktivitas tambang pasir Nambo yang dilapor ke polisi.
Bahkan, dia membeberkan, tambang pasir tidak melanggar Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Kendari 2010 – 2030. Menurut Seko, yang perlu dilakukan pengelola tambang pasir adalah segera mengurus izin. Dengan izin tersebut, perusahaan dapat meminimalisir dampak kerusakan dan pencemaran lingkungan dengan pengawasan yang akan dilakukan pemerintah.
“Saya kurang tahu laporan ke polisi itu soal apa. Dalam pemahaman kami, itu (tambang pasir) dikelola manual. Jadi tidak ada yang melanggar. Itu hanya karena tidak ada izinnya, jadi kita suruh urus,” beber Seko.
Di samping laporan fiktif ke polisi, Pemkot Kendari juga tumpang tindih menjelaskan legalitas tambang pasir Nambo. Tidak jelas nama perusahaan tambang pasir tersebut. Bahkan warga di sekitar tambang ikut kebingungan, karena perusahaan telah berkali-kali ganti nama. Namun dari data terakhir, namanya kini, Kelompok Usaha Bersama (KUB) Asri Perkasa.
KUB Asri Perkasa yang diketuai Asrifin, begitu leluasa melakukan aktivitas, mulai dari pengerukan, pengolahan, hingga pengiriman pasir melalui beberapa pelabuhan di Kendari. Ada tiga pelabuhan utama yang sering digunakan KUB Asri Perkasa untuk mengirim pasir, yakni di Pelabuhan PT Tiara Abadi Sentosa (TAS), Pelabuhan Nusantara Kendari, dan Pelabuhan Pangkalan Perahu.
Humas PT TAS, Hendra Ella menyebut, setiap orang atau badan usaha yang melakukan pengiriman pasir melalui pelabuhan wajib memiliki bukti pembayaran pajak maupun retribusi kepada pemerintah sebagai legalitas. PT TAS pun sebagai penyedia layanan jasa pelabuhan saat menerima permintaan pengapalan KUB Asri Perkasa menerapkan hal yang sama.
Menurut Hendra, aktivitas tambang pasir Nambo yang begitu intens pasti diketahui Pemkot Kendari. Sebab, jika pemerintah bersikeras untuk menyetop seluruh aktivitas tambang pasir Nambo, tidak akan ada proses produksi hingga pengiriman pasir ke luar Kendari.
“Bukan cuma di sini pengapalan, tapi di Pelabuhan Pangkalan Perahu dan Pelabuhan Nusantara. Itu tempat terbuka. Berarti dalam hal ini, dia bekerja legal, karena sepengetahuan Pemkot Kendari,” jelas Hendra, Rabu (30/3/2022) lalu.
Aktivitas Tambang Pasir Nambo hingga Disegel Pemkot Kendari
Puluhan sopir truk memacu kendaraannya menuju Bukit Kampung Lemo, lokasi penggalian pasir kuarsa di Lorong Tani, Kelurahan Nambo, Kecamatan Nambo, Kota Kendari. Para sopir bertugas mengangkut hasil galian secara bergiliran menuju penampungan sekaligus tempat pengolahan pasir milik KUB Asri Perkasa yang sebelumnya bernama CV Echal dan PT Nusantara Ekonomi Terutama (NET).
Pagi itu, Rabu, 23 Februari 2022, Bukit Kampung Lemo tampak lebih sibuk ketimbang hari biasa. Lokasi ini sedikit tertutup karena berada di dalam kawasan hutan yang berjarak sekitar satu kilometer dari Pantai Nambo.
Jika dilihat dari bawah Bukit Kampung Lemo, maka di lokasi galian pasir seperti tidak ada aktivitas. Namun dari luar dan dalam kondisinya berbeda. Tanah di atas bukit banyak dikeruk menggunakan alat berat.
Pemandangan di atas bukit pun hanya ada beberapa tumpukan pasir yang masih bercampur tanah dengan kondisi tandus dan gersang. Tumbuhan yang hidup di atas bukit bekas galian hanya ilalang dan beberapa pohon kelapa.
Tumpukan tanah bercampur pasir itu akan diangkat menggunakan buldoser lalu dipindahkan ke atas truk. Aktivitas pengerukan pasir pada Februari 2022 sedikit padat karena ada permintaan pasir dalam skala besar dari Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Tak kurang dari 12 ton pasir-pasir dari Nambo dikirim ke Morowali. Bahkan para karyawan harus bekerja lembur hingga pukul 12.00 WITA untuk mencapai target permintaan pasir. Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas II Kendari mencatat ada empat kali pengapalan pasir dari Kendari menuju Morowali pada bulan tersebut.
“Untuk Februari 2022 itu empat kali pengapalan tujuan Morowali. Terakhir itu empat hari yang lalu,” ujar Kepala Seksi Keselamatan Berlayar, Penjagaan, dan Patroli KSOP Kelas II Kendari, Heri Wiyanto, Kamis (17/3/2022).
Sementara, di lokasi penampungan sekaligus tempat produksi hari itu juga tak kalah sibuk. Suara bising knalpot buldoser beradu riuh dengan mesin penyaring pasir. Buldoser tampak memindahkan tumpukan pasir yang baru saja dibawa puluhan truk lalu mendekatkannya ke mesin penyaring.
Tanah yang masih bercampur pasir dan kasar kemudian dihaluskan dengan mesin penyaring. Untuk mendapatkan hasil yang bersih, pasir-pasir lalu dicuci menggunakan air yang bersumber dari Kali Lemo, tepat di sisi mesin penyaring. Air cucian pasir kemudian dialirkan kembali ke kali yang bermuara di Pantai Nambo.
Sebenarnya aktivitas pengolahan pasir di Kecamatan Nambo telah berlangsung sejak lama. Ada empat lokasi pengolahan pasir yang awalnya dikelola manual oleh masyarakat setempat tanpa menggunakan alat berat. Masing-masing berada di Kelurahan Nambo dan Kelurahan Petoaha. Bahkan di Kelurahan Petoaha, pengolahan pasir telah dilakukan sejak 26 tahun silam.
Sistem kerja manual mulai berubah setelah Mr. Hao Seki, Warga Negara Asing (WNA) asal Cina mengakuisisi salah satu pengolahan pasir di Kelurahan Nambo pada 2019 yang kemudian diberi nama KUB Asri Perkasa. Tapi informasi terkait kepemilikan saham Mr. Hao Seki di KUB Asri Perkasa dibantah langsung Asrifin. “Saya pemainnya. Cina di Morosi, pak,” tegasnya.
Jika dulu pekerja menggunakan pacul untuk menggali pasir, maka kini berganti ekskavator. Pekerja yang awalnya menaikkan pasir ke atas truk dengan sekopang, kini menggunakan buldoser.
Seiring berjalannya waktu, tiga lokasi pengolahan pasir lainnya mulai dimonopoli KUB Asri Perkasa. Tiga lokasi pengolahan pasir tersebut akhirnya menyetorkan pasir mereka dengan tanggungan biaya operasional dan jangkauan pasar yang lebih luas, seperti penunjang infrastruktur PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Kabupaten Morowali dan PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Kabupaten Konawe.
“Pasir dikirim lewat kapal. Saya sering ke dalam (lokasi pengolahan pasir) dan dengar cerita dari karyawannya,” kata Ode, warga yang tinggal tepat di depan lokasi produksi KUB Asri Perkasa.
Namun KUB Asri Perkasa tak puas hanya menampung tiga lokasi pengolahan pasir. Mereka juga mengeruk potensi pasir di Bukit Kampung Lemo. Di tahun pertama produksi, pihak perusahaan membeli pasir seharga Rp30 ribu untuk setiap rit truk atau sekitar delapan meter kubik.
Uang Rp30 ribu akan dibayarkan pihak perusahaan kepada pemilik lahan berdasarkan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Perjanjian itu kemudian disebut sistem kontrak. Lokasi produksi pasir juga disewa KUB Asri Perkasa kepada pemilik lahan. Harganya sewanya bahkan Rp80 juta sampai Rp120 juta.
Di tahun pertama beroperasi atau pada 2019, perusahaan menyewa lahan penampungan pasir senilai Rp80 juta. Di tahun berikutnya, harga sewa naik menjadi Rp100 juta. Pada tahun ketiga, harganya naik lagi sebesar Rp20 juta atau menjadi Rp120 juta per tahun.
“Pemilik lahan (lokasi pengolahan pasir) ini orang Muna, tapi tidak tinggal di sini,” ujar Ode.
Salah satu kelemahan sistem kontrak ini adalah, jika potensi pasir telah habis, pihak perusahaan boleh meninggalkan lahan begitu saja tanpa adanya penghijauan kembali atau reklamasi di lokasi galian. Padahal reklamasi pada bekas galian telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang.
Di samping kelemahan sistem kontrak, Kepala Bidang Mineral dan Batu Bara Dinas ESDM Sultra, Ridwan Batji, menyebut pihaknya tidak pernah mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Karena tidak memiliki IUP, tambang pasir kemudian bersembunyi di balik KUB yang dikelola masyarakat setempat.
“Sampai adanya aturan baru (UU Nomor 3 Tahun 2020), Dinas ESDM tidak pernah mengeluarkan izin di Nambo,” kata Ridwan, Rabu (23/3/2022).
Dalam kesepakatan pengelolaan KUB dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Pemkot Kendari, pekerja harus mengolah pasir menggunakan peralatan sederhana tanpa dibantu alat berat, seperti buldoser dan ekskavator.
“Jika kita berbicara IUP, berarti itu menyalahi aturan. Makanya, ketika hari ini ada PT di sana, berarti itu PT hanya dijadikan sebagai alat kerja sama untuk pengiriman pasir ke PT IMIP dan PT VDNI,” kata Ketua Komisi III DPRD Kota Kendari, La Ode Muhammad Rajab Jinik, Senin (21/2/2022).
Dengan alasan tersebut, DPRD lalu merekomendasikan Pemkot Kendari untuk menyegel lokasi pengolahan pasir Nambo. Pada 13 Juli 2021, Nahwa Umar bersama personel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) turun langsung untuk menghentikan seluruh aktivitas pekerja dan memasang garis polisi di sekitar lokasi produksi pasir. Bahkan mesin penyaring ikut disegel. Sebulan berselang, atau pada 13 Agustus 2021, Pemkot Kendari kembali memasang papan peringatan tepat di sisi pintu masuk lokasi produksi pengolahan pasir.
Inti dari peringatan itu adalah pihak perusahaan tidak boleh melakukan pengolahan pasir sebelum mendapat izin pemanfaatan ruang. Alasan penyegelan disampaikan dalam papan peringatan tersebut.
Alasan Pemkot Kendari menyegel lokasi pengolahan pasir karena perusahaan mengabaikan teguran yang dilayangkan sebelum penyegelan, tidak mengantongi izin, menggunakan alat berat yang tidak diperbolehkan dalam kesepakatan KUB, dan mencemari lingkungan.
Selain itu, mereka tidak menyumbang pendapatan bagi daerah melalui pajak, serta melanggar pasal 31 huruf d, pasal 42 huruf c, pasal 91 ayat 1, dan pasal 100 huruf a RTRW Kota Kendari. Sebab dalam RTRW, Kota Kendari tidak memiliki kawasan pertambangan atau galian C.
“Penyegelan dilakukan karena menyalahi RTRW Kota Kendari, karena memang tidak ada kawasan pertambangan di sana,” kata Rajab.
Puncaknya, Pemkot Kendari melalui Wali Kota Sulkarnain Kadir mengadu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Aduan itu disampaikan Sulkarnain kepada Ketua KPK, Firli Bahuri saat menghadiri kegiatan Hakordia pada 1 Desember 2021 di Kendari.
“Memang harus ada langkah tegas, karena RTRW tidak ada kawasan pertambangan, tapi faktanya ada,” ujar Sulkarnain.
Pantai Nambo dan Warga Jadi Korban Tambang Pasir
Kawasan Pantai Nambo lengang. Sore itu, Rabu, 30 Maret 2022, hanya ada beberapa pengunjung di Pantai Nambo. Tak ada pengunjung yang menceburkan diri ke laut. Gazebo di sepanjang pantai juga kosong. “Lagi sepi sekarang,” kata Mama Obit, salah seorang penjaga gazebo di Pantai Nambo.
Dinas Pariwisata Kota Kendari memang mencatat ada penurunan jumlah pengunjung Pantai Nambo tahun 2020, 2021, dan awal 2022. Kepala Bidang Destinasi, Laode Marfin menyebut, Pandemi Covid-19 menjadi penyebabnya. “Sekarang Covid-19 sudah mulai teratasi, jadi mungkin akan kembali meningkat,” kata Marfin saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (15/3/2022).
Tapi Covid-19 bukan satu-satunya alasan penurunan jumlah wisatawan di Pantai Nambo. Ada kekhawatiran pengunjung atas kualitas air Pantai Nambo akibat buangan pencucian tambang pasir. Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pantai Nambo, Alimin (52) mengatakan, sektor yang paling dirugikan dari tambang pasir adalah pariwisata, baik itu pengunjung maupun warga yang sehari-hari bekerja di sana.
“Sampai sekarang (beroperasi). Pengunjung mau turun mandi, kuning air laut, bahkan ada yang gatal-gatal,” kata Alimin, Sabtu (6/11/2021) lalu.
Agar sedikit meminimalisir dampak pencemaran terhadap pengunjung Pantai Nambo, Alimin dan anggotanya sempat meminta para pekerja tambang pasir untuk tidak beraktivitas di akhir pekan. Sebab di hari Sabtu dan Minggu, Pantai Nambo ramai dikunjungi wisatawan. Tapi permintaan itu tampaknya tidak diindahkan.
“Pernah mengeluh ke perusahaan, tapi kita ini mau berbuat dengan apa, karena di situ ada campur tangan pemerintah. Kita ini masyarakat biasa, kalau pemerintah bilang A, ya A,” ujar Alimin.
Minggu, 17 Oktober 2021, sejumlah warga juga sempat mendokumentasikan fenomena perubahan warna air laut di sepanjang Pantai Nambo. Perubahan warna tersebut setelah para pekerja galian C melakukan pencucian pasir pada malam sebelumnya.
“Ini dampak hasil pencucian pasir di galian C. Airnya keruh lagi,” kata Jaya, warga Kelurahan Nambo, sambil mendekatkan kamera handphone-nya ke arah pantai.
Sementara itu, Manajer Advokasi Walhi Sultra, Hermafito menemukan pendangkalan di muara Kali Lemo sekitar Pantai Nambo mencapai 45 sentimeter. Kali dengan lebar sekitar satu meter itu menjadi lokasi pembuangan utama bekas cucian pasir. Hermafito yang mendampingi masyarakat Nambo terkait penolakan galian C menyebut, materiel sedimen di sekitar Pantai Nambo berupa tanah bercampur pasir.
“Berdasarkan pengamatan saya bersama warga di sana, pendangkalan muara sungai di sekitar Pantai Nambo sudah mencapai 45 sentimeter,” kata Hermafito saat ditemui di Sekretariat Walhi Sultra, Jumat (11/3/2022).
Pendangkalan sendiri menyebabkan kematian organisme laut, hilangnya habitat biota laut, menurunnya tangkapan nelayan, perubahan kekeruhan, dan kedalaman air. Bagi nelayan, hal ini membuat mereka harus melaut lebih jauh dengan biaya operasional yang lebih mahal, karena tangkapan di pesisir sudah tidak memungkinkan.
“Dampak dari pendangkalan inilah yang akhirnya menjadi masalah nelayan dan warga yang sehari-hari bekerja di Pantai Nambo,” ujar Hermafito.
Masalah bagi warga yang sehari-hari bekerja di sekitar kawasan wisata adalah menurunya pengunjung akibat kekhawatiran kualitas air laut Pantai Nambo. Belum lagi persoalan Pandemi Covid-19 yang memaksa tempat wisata ditutup. Pada akhirnya mereka terpaksa mencari pekerjaan sampingan sebagai tambahan pemasukan.
“Ada keluhan dari masyarakat, apalagi kalau yang kulitnya sensitif, kadang gatal-gatal,” ungkapnya.
Pengolahan pasir Nambo juga tidak hanya berdampak pada nelayan, warga yang bekerja di kawasan wisata, dan pengunjung. Masyarakat yang tinggal di sekitar galian C turut terkena imbasnya. Tanah bekas galian pasir mengalir ke lahan-lahan pertanian warga ketika turun hujan. Hal inilah yang menyebabkan tanah pertanian mereka menjadi tandus.
Hermafito menyebut, “Jalan menuju perkampungan juga rusak akibat tingginya lalu lintas kendaraan di tambang pasir. Apalagi sudah hujan, bahkan ibu-ibu sering terjatuh karena jalan yang rusak itu.”
Untuk melihat kualitas air Kali Lemo, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kota Kendari telah melakukan pengamatan di hulu dan hilirnya. Dari pantauan tersebut, beberapa parameter melebihi kelas 1 hingga 2 mutu air yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Parameter yang melebihi kelas 1 dan 2 mutu air Kali Lemo misalnya Biologycal Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD). Di hulu, angka BOD-nya mencapai 10,80 miligram per liter dan di hilir naik menjadi 11,90 miligram per liter. Sedangkan COD di hulu mencapai 30,90 miligram per liter dan naik menjadi 32,10 miligram per liter di hilir Kali Lemo.
BOD yang mencapai 11,90 miligram per liter tentu melebihi kelas 1 dan 2 mutu air yang ditetapkan pemerintah. Di mana mutu air seharusnya berada di angka 2 miligram per liter untuk kelas 1 dan 3 miligram per liter untuk kelas 2.
Untuk parameter COD yang mencapai 32,10 miligram per liter Kali Lemo juga melebihi batas kelas 1 dan 2 mutu air yang telah ditentukan. Seharusnya COD berada di angka 10 miligram per liter untuk kelas 1 dan 25 miligram per liter untuk kelas 2.
Perbedaan parameter di hulu dan hilir Kali Lemo menandakan adanya aktivitas yang memengaruhi kualitas air. Artinya, jika kualitas air Kali Lemo yang bermuara di Pantai Nambo melebihi kelas 1 dan 2 mutu air, kawasan tersebut tidak layak dijadikan sebagai bahan baku pengambilan air minum dan lokasi wisata.
Menurut Kepala Bidang (Kabid) Peningkatan Kapasitas dan Pemantauan Lingkungan DLHK Kota Kendari, Ratna Sakay, pengambilan sampel tersebut baru sebatas pemantauan di Kali Lemo. Untuk menentukan Kali Lemo tercemar atau tidak, pihaknya perlu melakukan kajian lebih jauh.
Sebab, waktu pengambilan sampel, tidak ada aktivitas pembuangan limbah di Kali Lemo. Namun dengan beberapa parameter tersebut, aktivitas pencucian pasir akan memperparah kualitas air Kali Lemo yang secara langsung berdampak hingga ke Pantai Nambo sebagai lokasi wisata.
“Seingat saya, waktu pengambilan sampel, ada aktivitas, tapi bukan pencucian pasir. Waktu itu cuma aktivitas pengangkutan pasir,” kata Ratna saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (17/3/2022).
Keberlangsungan Tambang Pasir Nambo Kini Ada di Tangan Pemkot Kendari
Keberlangsungan aktivitas pertambangan pasir kuarsa di Kelurahan Nambo kini ada di tangan Pemkot Kendari. Hal itu menyusul adanya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang diterbitkan pada 11 April lalu.
Dalam aturan tersebut, sebagian perizinan usaha tambang mineral dan batu bara (minerba) dikembalikan ke daerah, yang sebelumnya semua diatur pemerintah pusat. Dengan aturan itu pula, izin dinilai bisa saja diterbitkan sekalipun aktivitas pertambangan tidak ada dalam RTRW Kota Kendari.
Akademisi Hukum Lingkungan Universitas Halu Oleo (UHO), Sahrina Safiuddin, menilai aktivitas yang berdampak pada lingkungan perlu mengantongi izin. Melalui perizinan, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi perorangan atau korporasi untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan.
“Izin itu konsepnya pembolehan atas sesuatu yang dilarang. Jika berdampak pada lingkungan dan masyarakat sekitar, harusnya wajib izin,” kata Sahrina, Senin (9/5/2022).
Tapi jika Pemkot Kendari kekeh untuk tidak memberi izin dengan alasan melanggar RTRW, ada beberapa catatan yang perlu dilakukan selain memberi teguran dan menyegel tambang pasir Nambo. Pemkot Kendari bisa memberi sanksi administrasi atau Paksaan Pemerintah (Bestuursdwang). Ketentuan Bestuursdwang pun telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Jika penanggung jawab usaha tidak melaksanakan hal tersebut, Pemkot Kendari dapat menerapkan denda atas keterlambatan Paksaan Pemerintah yang ditentukan berdasarkan perhitungan persentase pelanggaran dikali nilai denda paling banyak. Denda atas keterlambatan tersebut merupakan penerimaan negara bukan pajak yang wajib disetorkan ke kas negara.
Selain denda, penanggung jawab usaha yang tidak melaksanakan Paksaan Pemerintah juga dapat dikenakan sanksi pidana penjara maksimal satu tahun dan denda Rp1 miliar. “Saya melihat layak diberikan sanksi administrasi atau Paksaan Pemerintah,” ujar Sahrina.
Selain itu, lanjut Sahrina, ada dua asas untuk menilai aktivitas galian C yang tidak ada di dalam RTRW Kota Kendari, yakni kesesuaian dengan hukum (rechtmatigheid) dan kemanfaatan (doelmatigheid).
Jika mengacu pada asas rechtmatigheid, secara otomatis galian C di Kelurahan Nambo melanggar aturan. Sedangkan asas doelmatigheid, harus ada penilaian apakah tambang pasir Nambo bermanfaat atau justru merugikan masyarakat setempat.
“Sebenarnya RTRW juga disusun melalui studi kelayakan yang disesuaikan dengan daya tampung dan daya dukung. Kegiatannya pun harus sesuai daya tampung dan daya dukung itu sendiri. Jika sampai kegiatan melebihi daya tampung, itu perusakan. Sedangkan kalau melebihi daya dukung, itu pencemaran,” tutupnya.
Satu balasan terkait “Tambang Pasir Nambo: Dilema Penegakan RTRW dan Pendapatan Pajak”
Mantap beritanya, meng cover both side, dan penjelasannya yang lengkap