Mengenal Tenun Masalili Muna yang Warnanya Berasal dari Pewarna Alami
Muna – Kain tenun merupakan kerajinan tangan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Hampir di setiap daerah memiliki keunikan tersendiri baik dari segi warna, corak, cara pembuatan, maupun makna filosofis di dalamnya.
Tenun sendiri adalah hasil kerajinan yang berupa bahan (kain) yang dibuat dari benang (kapas, sutra, dan sebagainya) dengan cara memasuk-masukkan pakan secara melintang pada lungsin. Umumnya proses kain tenun dilakukan secara manual. Sehingga, tenun yang dihasilkan kerap kali memiliki nilai jual yang cukup tinggi.
Seperti halnya kain tenun asal Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra) ini. Di daerah tersebut terdapat sebuah jenis kain tenun yang cukup terkenal dan khas. Yakni kain tenun Masalili. Kain tenun ini merupakan salah satu warisan budaya masyarakat setempat yang terus dilestarikan kaum perempuan di wilayah tersebut.
Kain tenun ini memiliki motif yang khas dengan warna yang cerah. Kecerahan warna tersebut berasal dari pewarna alami. Masyarakat Desa Masalili di Kecamatan Kontunaga masih terus mempertahankan corak itu demi memberikan kualitas yang terbaik.
Tentunya dengan kualitas terbaik, harga yang dibanderol pun bervariatif. Bahkan hingga menyentuh jutaan rupiah setiap lembar kainnya.
“Memang kalau di Masalili ini terkenal dengan tenun menggunakan pewarna alami. Lalu dibuat hati-hati yang otomatis harganya bisa tinggi mencapai Rp2,5 juta per lembarnya tergantung motifnya,” kata seorang perajin tenun asal Desa Masalili, Sitti Erni saat dihubungi Kendariinfo, Kamis (13/4/2023).
Dengan tarif harga tersebut tentunya kualitas yang diberikan tidak main-main. Para perajin tentunya tetap mempertahankan penggunaan warna alami dalam setiap hasil pintalan tenunan. Menurut dia, selain warna alami, pengerjaannya tentu harus sebanding.
Terlebih, lanjut Erni, para turis mancanegara yang kerap menjadi langganan tidak mengenal harga yang tinggi. Mereka mencari kualitas sebuah barang, sedangkan harga urusan biasa.
“Kalau turis-turis datang berbelanja kain tenun Masalili mereka lihat kualitas kerajinan sehingga masalah harga hal biasa,” ujarnya.
Nah, tenun Masalili ini memiliki ciri khas dari sekian kerajinan kain di Sultra. Di mana, dalam menenun benang, warna hanya di permukaan saja, sedangkan di dalamnya masih menggunakan warna polos. Ia menuturkan teknik menenun semacam itu dikenal dengan teknik Sobi.
Teknik ini dilakukan sudah turun-temurun oleh orang-orang tua terdahulu di Masalili sebagai ciri khas yang terus dipertahankan.
Karena menggunakan pewarna alami setiap pintalan benangnya, tentu bahannya diambil dari alam yang telah dianugerahkan Tuhan. Masyarakat Masalili biasanya menggunakan beberapa jenis tanaman tertentu yang mudah dijumpai di sekitar kampung. Bahan alami biasanya berasal dari pepohonan seperti daun mangga, kulit mahoni, hingga kayu secang.
Dalam pemilihan bahan pula tentunya memiliki kriteria khusus. Sebut saja daun mangga. Daun yang digunakan harus berusia setengah tua kemudian dipetik dan disimpan beberapa saat. Lalu, daun akan dimasak dengan air mendidih hingga berjam-jam lamanya.
“Seperti daun mangga. Daunnya ini tidak asal, harus daun setengah tua. Tidak bisa muda apalagi tua sekali. Tengah-tengahlah pokoknya. Setelah dikumpulkan, daun akan direbus kurang lebih 4 jam-an sampai mengeluarkan warna alami daun mangga,” bebernya.
Usai direbus menggunakan belanga, daun-daun mangga tadi akan meninggalkan warna. Nah, warna itulah yang digunakan sebagai pewarna alami untuk jadi bahan pewarna benang. Kemudian untuk mempertahankan kualitas warna agar tidak luntur dan mudah rusak, Erni mengungkapkan dirinya memiliki sebuah cara tradisional untuk proses pewarnaannya.
“Setelah disaring, benang yang sudah diikat direndam ke dalam cairan pewarna alami, kemudian diikat namanya di-siksasi, itu teknik tradisional supaya tidak mudah luntur warnanya,” ungkapnya.
Erni menuturkan proses pembuatan selembar kain tenun dengan motif dan corak Masalili berukuran 370 cm x 68 cm biasanya memakan waktu cukup lama. Mulai dari persiapan awal atau desain, pemilihan warna yang cocok dan motif hingga proses penenunan bisa sebulan penuh. Tergantung tingkat kesulitan masing-masing.
“Biasanya selembar kain tenun dikerjakan selama 1 bulan,” ungkapnya.
Kini, tenun Masalili merupakan sentra kain tenun di Muna. Membuat masyarakat setempat bisa menggantungkan mata pencahariannya pada kerajinan tersebut. Mayoritas masyarakat perempuan di Desa Masalili mengambil peran sebagai perajin penenun. Tak ketinggalan Erni yang selama ini bernaung di Annisa Tenun Masalili.
Melalui rumah-rumah warga setempat kain tenun produksi Muna tidak lagi terpaku pada proses pembuatan kain tenun semata, tapi sudah dikembangkan menjadi berbagai produk jadi industri kreatif seperti sarung, tas, baju hingga aneka souvenir lainnya.
“Pasaran terbesar saya melalui wadah Sultra Tenun dan Fakultas Ilmu Budaya UHO. Saya juga berjualan di butik saya Annisa Tenun Masalili. Kalau untuk penjualan online hanya melalui WhatsApp group,” bebernya.
Tempo hari, masyarakat setempat juga merambah platform jualan online, namun terkendala di stok. Sebab penjualan harus beragam dan motif berbeda-beda. Nah selama ini belum bisa menyediakan dalam jumlah yang cukup banyak dan beragam. Terkadang apa yang di upload di platform tersebut hari itu, lebih dulu laku secara offline karena orang datang dan membelinya langsung ke toko.
Ia berharap agar ke depan industri kreatif tenun ini bisa terus berkembang dan menjadi buah tangan primadona wisatawan yang berkunjung ke Muna ataupun Sultra.