Kendariinfo

Media Milenial Sultra

URL Berhasil Disalin
Terkini

Tradisi Dole-dole, Imunisasi Tradisional Masyarakat Buton yang Unik untuk Anak

Tradisi Dole-dole, Imunisasi Tradisional Masyarakat Buton yang Unik untuk Anak
Seorang anak sedang berada dalam gendongan oleh Bisha untuk dilakukan tradisi Dole-dole. Foto: Teuku Oki. (2018).

Buton – Masyarakat Buton atau Wolio memiliki satu tradisi pengobatan yang cukup tua untuk anak-anak yang diberi nama Dole-dole. Dole-dole sendiri merupakan imunisasi tradisional yang sampai saat ini masih terus dipertahankan masyarakat setempat.

Dole-dole sendiri diyakini masyarakat terdahulu sebagai tradisi untuk menangkal penurunan daya tahan tubuh yang berdampak munculnya penyakit. Sehingga, masyarakat hingga saat ini masih terus melestarikannya.

Dalam tradisi ini, anak yang berusia 6 bulan ke atas akan mengikuti prosesi rangkaiannya. Dalam pelaksanaannya, Dole-dole akan dipimpin oleh seorang Bisha. Bisha merupakan wanita yang sudah cukup tua dan memiliki garis kelihaian dalam melakukan prosesi Dole-dole tersebut.

Seorang bayi sedang digendong oleh Bisha saat hendak di Dole-dole atau diguling-gulingkan di atas daun pisang yang sudah dilumuri minyak.
Seorang bayi sedang digendong oleh Bisha saat hendak di Dole-dole atau diguling-gulingkan di atas daun pisang yang sudah dilumuri minyak. Foto: Facebook Arisna Aris. (2021).

Prosesi Dole-dole sendiri dilaksanakan dengan cara seorang anak yang berusia kisaran 6 bulan hingga 2 tahun tanpa berpakaian hanya menggunakan celana kemudian diguling-gulingkan di atas nyiru atau tikar berbahan daun dengan di alaskan daun pisang. 

“Daun pisang itu lebih dulu dilumuri minyak kelapa dan kunyit kemudian anak itu di Dole-dole atau diguling-gulingkan di atasnya,” kata Budayawan Masyarakat Wolio, Imran Kudus kepada Kendariinfo, Sabtu (10/9/2022).

Selain daun pisang dan kunyit, orang tua juga harus menyiapkan beberapa kebutuhan pokok dan makanan bergizi untuk nantinya disuapkan kepada sang anak seperti ikan dengan jenis khusus seperti Babora. Kemudian nasi yang dimasak menggunakan periuk yang terbuat dari kuningan, santan yang dimasak sebelum menjadi minyak, pisang, ubi jalar yang dicampur gula aren menjadi panganan.

Imran mengungkapkan bahan-bahan pokok dan buah yang disediakan memiliki filosofis yakni makanan yang harus disediakan orang tua kepada sang anak harus bergizi dan mengandung protein lengkap untuk menunjang pertumbuhan sang anak ke depan.

“Seperti kunyit, itu kan kalau di bidang kesehatan sebagai obat menghilangkan peradangan, terus ikan memiliki protein dan ubi-ubi jalar sebagai karbohidrat,” ungkapnya.

Baca Juga:  2 Pria di Kendari Ditetapkan DPO Kasus Pencurian

Kendati demikian, tradisi tersebut tidak serta merta harus memastikan anak tersebut sehat sepanjang masa. Sebab, tetap ada saja penyakit yang datang. Namun tradisi itu sudah mengakar di masyarakat sehingga jika tidak dilakukan, dirasa ada yang kurang di masa kecil sang anak. 

“Sekarang kan penyakit sudah tidak sama seperti dulu. Kalau dulu paling penyakit kulit, kudis dan lainnya, kalau sekarang penyakit sudah beragam. Jadi penyakit pasti ada saja, hanya karena ini tradisi turun-temurun yang akan dirasa kurang kalau tidak dilakukan,” ujarnya.

Imran mengatakan tradisi ini juga dilakukan untuk memperkenalkan nama sang buah hati yang diberikan orang tuanya. Setelah prosesi semua selesai, Bisha akan bertanya dengan nada yang nyaring menanyakan nama dari anak tersebut. Sontak orang tua memperkenalkannya.

“Setelah selesai upacara maka Bisha akan bilang siapa nama anak ini, maka keluarganya menjawab namanya si A atau si B seterusnya,” ungkapnya.

Uniknya, kata Irman, tradisi ini hanya boleh dilakukan oleh wanita. Pria tidak diperkenankan mengikuti prosesi ini. Ia tak mengetahui asal-muasalnya hanya diperuntukkan bagi perempuan. Sejak awal munculnya tradisi ini, perempuanlah yang berperan dalam melangsungkan kegiatan untuk merawat tradisi ini.

“Bisha yang pimpin oleh perempuan dan hanya dihadiri ibu-ibu, untuk bapak-bapak tidak boleh dalam prosesinya. Tapi kalau untuk anak yang di Dole-dole bebas, baik perempuan maupun laki-laki,” bebernya.

Seorang anak sedang berada dalam gendongan oleh Bisha untuk dilakukan tradisi Dole-dole.
Seorang anak sedang berada dalam gendongan oleh Bisha untuk dilakukan tradisi Dole-dole. Foto: Facebook Yustina. (2016)

Asal-usul Dole-dole dalam Cerita Rakyat

Konon, dalam cerita asal-usul tradisi Dole-dole pertama kali dilakukan oleh Betoambari, anak dari salah satu tokoh ras Melayu yang datang ke Pulau Buton, bernama Sipanjonga. Saat Betoambari kecil, kerap mengalami sakit-sakitan karena daya tahan tubuhnya terus menurun. Betoambari kerap mengalami penyakit kulit.

Maka berinisiatif lah sang ayah, Sipanjonga untuk mengobati dengan cara Dole-dole. Kemudian Dole-dole digelar pertama kali untuk mengobati sang buah hati yang kerap sakit-sakitan. Merujuk dari waktu Betoambari kecil dan mengalami sakit-sakitan, menyusul tradisi Dole-dole ada maka bisa dipastikan pengobatan tradisional itu sejak Betoambari di masa kanak-kanak di abad ke-13.

Baca Juga:  Gelar Kongres ke-2, BEM se-Sultra Kini Dinakhodai Yusril Hamsahril

“Tokoh Betoambari semasa kecil ini sering mengalami sakit-sakitan, maka dilakukanlah tradisi Dole-dole ini oleh sang ayah Sipanjonga di lingkungan kerajaan,” kata dia.

Imran mengungkapkan awalnya tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Wolio yang mendiami kawasan dalam benteng Keraton Kesultanan Buton. Namun saat ini, Dole-dole sudah menjamur luas dan dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Buton yang percaya dengan tradisi sebagai penangkal penyakit kepada anak.

Melihat rujukan tahun munculnya tradisi tersebut, Imran memastikan tradisi Dole-dole sudah sangat lama dilakukan oleh masyarakat Buton.

“Dulu tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Wolio yang berada dalam kawasan Benteng Keraton dan sekitarnya atau yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan tokoh Betoambari,” papar dia.

Ia mengatakan tradisi ini bukanlah hal wajib yang harus dilakukan oleh masyarakat, dengan alasan tidak semua masyarakat mampu dalam segi ekonomi.

Namun, jika tidak dilakukan, orang tua akan merasa ada yang kurang dalam kelahiran anak mereka. Sehingga sebisa mungkin menggelar tradisi ini walau dalam lingkup kecil.

“Dole-dole ini adalah tradisi yang sangat tua dan masih dilestarikan masyarakat sampai saat ini. Dole-dole ini tidak wajib, karena upacara ini melibatkan orang banyak. Tapi kalau tidak dilakukan seperti ada yang kurang,” ungkapnya.

Imran menjelaskan sampai saat ini Dole-dole sudah mengakar dan menjadi lingkaran hidup masyarakat Wolio dan Buton. Pemerintah pun turut melestarikan Dole-dole ini. Bahkan kerap menggelar upacara tersebut secara beramai-ramai di hari tertentu.

“Sampai saat ini Dole-dole tetap dilaksanakan dan dilestarikan oleh masyarakat dan pemerintah setempat. Pemerintah sering men-support masyarakat dengan membuat upacara besar-besaran,” jelasnya.

Editor Video
Editor Kata
Tetap terhubung dengan kami:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan Konten