Melihat Tradisi Karia’a di Wakatobi, Mengarak Remaja Keliling Kampung
Wakatobi – Masyarakat adat di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra) memiliki sebuah tradisi yang terbilang cukup unik bernama Karia’a. Karia’a sendiri merupakan upacara adat sunatan bagi anak laki-laki dan perempuan. Puncak dari pada tradisi ini, warga akan mengarak mereka keliling kampung menggunakan tandu dan mendendangkan syair-syair merdu dengan tabuhan gendang.
Proses Karia’a ini diawali dengan Wehayi yaitu tuan rumah yang akan mengadakan Karia’a meminta kepada majelis Sara untuk mengadakan Sombonga pada bulan tersebut. Wehayi ini ditandai dengan tuan rumah membawa Toba sebagai pengikat kepada Sara bahwa pada bulan yang telah ditentukan nanti tidak boleh lagi ada yang mengadakan Sombonga. Lalu tuan rumah mendatangi imam untuk memberitahukan bahwa hari Matana Karia’a sudah dekat.
Kemudian imam memberitahukan kepada Meantuu agama untuk diberitahukan kepada Sara melalui Pangalsa dan Pangalasa untuk disampaikan kepada Bonto. Maka berkumpullah para tokoh adat. Setelah semua Sara sepakat baik Sara adat maupun Sara agama, maka ditentukan harinya untuk pertemuan di Sombonga.
Dalam pertemuan di Sombonga ini dipanggil semua orang tua atau keluarga yang akan mengikuti Karia’a. Biasanya Karia’a ini diikuti puluhan bahkan ratusan anak baik laki-laki maupun perempuan. Biasanya pertemuan di Sombonga itu dilakukan beberapa kali sampai mendekati hari H. Ketika itu penabuhan gendang diperdengarkan sebagai tanda bahwa Karia’a akan digelar.
Pertemuan itu pula akan ditentukan siapa yang akan mengenakan pakaian kepada para anak, biasanya para tokoh adat hingga pejabat pemerintah dan aparat keamanan. Berkumpulnya itu, guna membicarakan kewajiban yang harus ditunaikan peserta upacara Karia’a, baik itu laki-laki ataupun perempuan, baik secara hukum agama atau adat. Kewajiban pertama adalah Posulu atau uang yang dibayar dalam agama, kemudian Mahe atau uang yang dibayar dalam adat. Kewajiban selanjutnya Nabutiuwe dan Laapugaja.
Menurut Bonto atau pengatur adat istiadat Kadie Wanse, La Ane Puru tradisi khitan atau sunatan yang dilakukan masyarakat Wakatobi tidak terlepas dari adanya hubungan agama dan budaya. Melihat dari sisi agama, khitan pertama kalo disyariatkan kepada Nabi Ibrahim dan para nabi sesudahnya. Sehingga, Wakatobi yang masih merupakan wilayah Kesultanan Buton mewajibkan seluruh anak laki-laki dan perempuan harus dikhitan.
Tradisi ini terbagi menjadi dua Karia’a Tooge atau besar dan Ki’kii atau kecil. Yang membedakan keduanya, Tooge merupakan upacara adat bagi laki-laki dan Ki’kii merupakan upacara adat bagi perempuan. Upacara sunatan adat untuk perempuan juga sebanyak dua kali yakni besar dan kecil.
Selama ini, masyarakat Wakatobi menggunakan jenis sunatan Arab ketimbang jenis Madinah dan Johor. Sunatan Arab bagi laki-laki dengan ujung kulit dipotong. Dahulu sebelum adanya dokter, maka sunatan akan dilangsungkan secara adat. Namun saat ini dengan teknologi canggih dan kehadiran ilmu pengetahuan tentang kedokteran, maka proses sunat dikerjakan langsung oleh dokter atau tim medis.
“Karia’a Arab masih dipakai sampai sekarang. Dulu itu belum ada dokter, kalau mau sunat ya pakai sunatan adat. Tapi sekarang setelah prosesi rangkaian adat, sudah siap dokter untuk melangsungkan sunatan,” kata La Ane kepada Kendariinfo, pada Selasa (25/10).
Sementara adanya tradisi dengan memandu mereka yang hendak melangsungkan sunatan dengan berkeliling kampung merupakan bagian daripada adat setempat yang perlu dilestarikan. Dalam adat ini, prosesnya terbilang cukup panjang dan harus dilakukan oleh tokoh adat setempat agar tidak melenceng dari ajaran tradisi lampau itu.
Para remaja yang beranjak baligh lebih dulu akan menjalani prosesi Sombo atau pingitan dengan rentan waktu berbeda-beda, mulai dari 7 hari, 8 hari hingga 40 hari. Sebelum menjalani upacara adat Karia’a, mereka harus dipingit dengan alasan sebelum baligh, sudah mengetahui ajaran agama yang sebenar-benarnya dan adat istiadat.
“Saat di-Sombo ini mereka akan diberi nasihat tentang agama oleh Sara (pemangku) agama mulai dari salat, mengaji dan sebagainya apa pun itu tentang nasihat agama. Dan mereka juga akan dinasihati oleh Sara adat tentang bagaimana menghormati adat istiadat masyarakat Wakatobi,” beber dia.
Setelah proses pingit selesai, para remaja akan membersihkan diri terlebih dahulu sesuai aturan dan adat setempat. Mereka akan melangsungkan 4 kali proses pembersihan diri yakni melakukan istinja, membersihkan junub, mandi untuk air salat dan mandi untuk syahadat.
Pertama mereka akan dimandikan sore hari sebelum melaksanakan proses Karia’a keesokan hari. Proses mandi ini disebut dengan Hakoroku. Mandi ini dengan menghadap kiblat kemudian diputar lagi menghadap timur. Dalam proses ini, baik laki-laki ataupun perempuan akan dituntun dengan ucapan kalimat syahadat setelah itu ditobatkan dulu.
Artinya, sebelum mereka beranjak dewasa agar diajarkan untuk mengucapkan syahadat. Jika anak usia muda belum mengucapkan seperti itu, maka belum resmi menjadi seorang muslim. Maka syarat yang diwajibkan sebelum Karia’a adalah tobat dan syahadat. Lalu, perangkat agama akan melangsungkan doa selamat.
La Ande menuturkan kemudian proses mandi selanjutnya dilangsungkan saat subuh hari menjelang pelaksanaan tradisi ini. Namun dalam proses mandi ini, mereka akan dimandikan oleh Bisa atau orang adat yang dipercayakan turun temurun melakukan prosesi adat istiadat ini.
“Setelah salat subuh anak ini dimandikan lagi dengan rendaman bunga pinang dan bunga kelapa yang belum terbelah. Nanti dibelah sendiri oleh Bisa atau biasa disebut proses Tobea Nubansa. Kalau dulu, Bisa ini empat orang, dua dari Kaumu dan dua dari Walaka atau bangsawan,” ungkap dia.
Mengarak Remaja Pakai Tandu dalam Tradisi Karia’a
La Ane menjelaskan proses puncak sebelum melangsungkan tradisi ini yakni dengan mengarak para remaja khususnya perempuan menggunakan tandu yang terbuat dari kayu atau bambu yang disebut Kansoda’a. Para perempuan akan dipukul oleh warga atau kerabat laki-laki dengan mengelilingi kampung. Sedangkan remaja laki-laki akan berjalan sambil menari Lengko dengan diiringi tabuhan gendang dan tokoh-tokoh agama setempat berada paling depan.
La Ane mengungkapkan proses ditandu bagi perempuan dan berjalan kaki bagi laki-laki, memiliki filosofis hidup yang harus dipegang oleh mereka.
“Kenapa laki-laki itu dibiarkan berjalan karena dia adalah orang yang kuat untuk mencari nafkah dan perempuan kenapa diusung karena dia harus dilindungi. Laki-laki orangnya itu menandakan tangguh jadi ke depan nanti ketika dewasa dia mencari nafkah,” ungkapnya.
Para remaja akan diajak berkeliling kampung sebagai tanda bahwa akan melangsungkan sunatan. Warga akan terlihat bahagia sambil menyanyikan lagu-lagu daerah, terutama Banti-banti dan Kadandio. Prosesi mengarak itu dimulai dari Sombonga dan akan diajak berkeliling kemudian kembali ke tempat semula. Setelah itu, para remaja akan melangsungkan sunatan di rumah masing-masing atau massal di tempat yang telah ditentukan.
Namun ternyata tradisi ini masih harus menyelesaikan prosesnya yang terakhir yakni Mangan Pogaga’a yang artinya makan untuk berpisah. Keluarga para remaja akan membuat kegiatan makan bersama setelah 7 hari melaksanakan Karia’a tersebut.
La Ane menuturkan tradisi ini masih dipertahankan seluruh masyarakat Wakatobi. “Ini masih terpelihara sampai sekarang, biasanya kalau sudah mau datang bulan Syawal dan Sya’ban, maka berlomba-lomba orang membuat Karia’a,” beber dia.