Mengenal Irham Acho Bahtiar, Sutradara Berdarah Tolaki yang Suka Angkat Film dengan Tema Daerah
Kendari – Sutradara nasional berdarah Tolaki, Irham Acho Bahtiar memulai kariernya sebagai sineas setelah lulus dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada tahun 2000. Sutradara yang akrab disapa Acho ini memang bercita-cita menjadi sutradara sedari lulus Sekolah Menengah Atas (SMA).
Saat lulus SMA di Kabupaten Merauke, Acho memutuskan untuk pindah ke Jakarta untuk melanjutkan studinya. Tetapi, dia sempat tidak mendapat restu dari orang tuanya lantaran kerasnya kehidupan di Ibu Kota. Meski demikan, ia tetap pergi ke Jakarta untuk mengejar impiannya.
“Tadinya orang tua tidak berani melepas sendirian kuliah di Jakarta. Beruntung di Jakarta ada om Muharram, adik kandung mama saya orang Anggaberi, Konawe yang kebetulan kerja di Jakarta. Jadi selama kuliah saya tinggal bersama om saya,” kata Acho kepada Kendariinfo beberapa waktu lalu.
Awal Karier Irham Acho Bahtiar sebagai Sutradara
Awalnya, Acho bersama beberapa sahabatnya membuat sebuah studio editing untuk mengerjakan berbagai proyek terkait dunia sinema dan televisi.
“Saya mencoba membuat studio editing bersama teman-teman di Jakarta, lalu sempat membuat beberapa sinetron anak-anak untuk sebuah stasiun TV nasional,” imbuh pria kelahiran 7 Mei 1977 di Kecamatan Muting, Kabupaten Merauke, Papua itu.
Kemudian pada tahun 2006 dirinya memutuskan untuk bekerja di sebuah rumah produksi ternama di Jakarta, yang dipimpin oleh seorang bos dari India. Selama 2 tahun dirinya banyak mengerjakan berbagai proyek, mulai dari acara televisi, iklan, dokumenter, dan lain-lain dengan posisi sebagai produser kreatif.
“Barulah di tahun 2008 saya merasa jenuh bekerja kantoran dan berkeinginan menghasilkan sebuah karya sendiri. Maka, saya balik ke Merauke tempat keluarga saya tinggal dan bersama adik saya menghasilkan sebuah film pertama berjudul Melody Kota Rusa (2010) yang keseluruhan mengangkat tema lokal di Merauke,” lanjutnya.
Sebuah film daerah yang dibiayai sendiri oleh Acho itu meledak dan disukai masyarakat. Bukan hanya di Papua saja, bahkan film itu juga menyebar hingga ke Ambon, Jawa, dan Sulawesi melalui DVD bajakan.
“Itulah awal dari karier saya di dunia film. Sejak saat itulah beberapa produser di Jakarta mulai melirik saya dan mengontak saya untuk membuatkan film di Production House (PH) mereka karena melihat ada karya saya yang sukses,” bebernya.
Dari Film Daerah Kini Dipercaya Garap Film Besar Nasional
Setelah Melody Kota Rusa, ada film nasional yang Acho garap dan tayang di bioskop yaitu Lost in Papua, Noble Hearts, Epen Cupen The Movie, hingga Raja Mop. Seluruh film itu bertema Papua.
Pada tahun 2016 setelah ibu Acho meninggal dan dikuburkan di kampung halamannya, yakni di Kecamatan Anggaberi, Kabupaten Konawe. Acho kemudian merencanakan membuat film bertema Kendari, karena semasa hidup ibundanya sering sekali bercerita tentang kisah cintanya dulu. Di mana beliau adalah seorang gadis Kendari yang dipertemukan dengan seorang pria Makassar, yang merupakan ayah dari Acho.
Maka lahirlah ide film Molulo yang terinspirasi dari kisah nyata dari orang tuanya sendiri. Hanya saja bukan dalam bentuk biografi karena setting-nya dibuat ke masa kini. Tetapi beberapa konfliknya didasari oleh kisah yang benar-benar pernah terjadi di masa lalu.
Setelah film Molulo 1 sukses diputar di bioskop dan menghasilkan pendapatan yang cukup banyak pada 2017. Dari situ, Acho pun ingin terus mengangkat film-film bertema daerah karena film lokal yang dibuat ternyata mampu bersaing secara nasional.
“Selain Molulo 1 ada lagi kami buat film Molulo 2 yang tayang awal September 2022 sebagai kisah kelanjutan Molulo 1. Selain itu ada film horor dari urban legend Kendari yakni Bekas Rumah Sakit (2020) dan film Mosonggi yang masih belum tayang karena pandemi,” katanya.
Selain di Kendari Acho juga membuat film bertema daerah di Makassar yaitu, Coto vs Konro (2018) dan di Sumatera Utara yakni Horas Amang (2019). Sedangkan untuk film nasional, Acho banyak mengerjakan film-film pesanan seperti Security Ugal-ugalan (2017) dan Bodyguard Ugal-ugalan (2018).
“Film-film komersial atau nasional itu tentunya dibuat dengan mengikuti keinginan pak produsernya bukan keinginan saya, karena saya lebih suka membuat film-film di daerah yang unik-unik,” jelasnya.
Tetapi, dengan mengerjakan film-film besar pesanan itu, Acho memiliki tambahan modal untuk bisa memproduseri beberapa filmnya sendiri.
Suka Duka Irham Acho Bahtiar Jadi Seorang Sineas
Acho mengaku, selain biaya produksi, sebenarnya para sineas kesulitan ketika mengangkat film dengan tema yang memiliki unsur adat. Sebab, biasanya bakal timbul kontroversi di tengah masyarakat itu sendiri.
“Saya punya banyak pengalaman membuat film di daerah dan yang paling sering terjadi adalah kontroversi soal penggunaan adat di dalam film,” katanya.
Ia menyebutkan, ketika melibatkan salah satu penasihat adat saat membuat film, maka kelompok yang lain akan menganggap pembuat film tidak menghormati mereka. Apalagi, terkadang penggunaan bahasa daerah masih ada yang mengoreksi. Hal-hal inilah yang membuat beberapa pembuat film nasional jadi takut mengangkat adat-adat di sebuah daerah. Masyarakat sangat sensitif terkadang.
“Saya ingat dulu Mama saya pernah melarang saya bikin film di daerah lagi, karena sempat mendapat sedikit masalah waktu bikin sebuah film di Papua. Kata Mama saya kamu sudah capek buang tenaga dan biaya sendiri tapi masih saja ada yang bikin masalah,” jelasnya.
Tapi bagi Acho, itulah tantangan utama dalam membuat film di daerah. Menurutnya, jika dia menyerah berarti dirinya sama saja dengan pembuat film lainnya yang tidak berani karena menghindari permasalahan di tengah masyarakat.
“Lalu kalau semua berpikiran begitu, siapa lagi yang akan angkat daerahnya?,” pungkasnya.